Sabtu, Juli 26, 2008

BPK RI Pastikan Telah Terjadi Pelanggaran Tata Ruang oleh Walikota Bandung dalam kasus PUNCLUT

Dokumen selengkapnya dari hasil pemeriksaan BPK RI tahun 2007 tentang adanya pelanggaran tata ruang di Punclut bisa di download di http://www.bpk.go.id/doc/hapsem/2007ii/APBD/273_Kota_Bandung_Perc_Lingk_udara.PDF
==================================================================
Di bawah ini adalah kutipan dari dokumen BPK RI yang membahas hasil pemeriksaan tentang kasus Punclut
==================================================================


3.4.3 Kebijakan Walikota Menetapkan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) untuk Kawasan Punclut Bertentangan dengan Peraturan yang Berlaku

Dalam rangka mendukung pengendalian pencemaran udara, diperlukan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang mampu memulihkan pencemaran udara, antara lain melalaui penetapan kawasan lindung. Provinsi Jawa Barat telah meentapkan Kawas Bandung Utara sebagai kawasan lindung dengan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2003 dan didukung oleh Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 2 Tahun 2004.

Kawasan Punclut merupakan bagian dari Kawasan Bandung Utara (KBU) yang berada dalam wilayah Kelurahan Ciumbuleuit, Kecamatan Cidadap, Kota bandung. Sesuai Lampiran II Perda Kota Bandung Nomor 2 Tahun 2004 pada Gambar 6 Rencana Tata Guna Lahan, kawasan Punclut digambarkan dalam peta berwarna hijau yang berarti Ruang Terbuka Hijau, dan pada Lampiran I Tabel 5 yang menyatakan bahwa KDB Maksimun pada kawasan lindung adalah 2% (dua persen) dengan tambahan keterangan hanya untuk prasarana dan sarana vital, yang berarti bahwa dalam kawasan lindung tidak boleh dikembangankan untuk mendirikan bangunan.

Dalam pelaksanaannya, Walikota Bandung mengeluarkan Peraturan Nomor 981 Tahun 2006 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Wilayah Pengembangan Cibeunying, yang menyatakan bahwa Kawasan Punclut masuk dalam Zona 3 dengan ketentuan KDB 20%.

Dari hasil pemeriksaan dokumen diketahui bahwa Kawasan Punclut telah dikembangkan untuk Kawasan Hunian dan Pariwisata Terpadu yang dilaksanakan oleh PT Dam Utama Sakti Prima (PT. DUSP). Kegiatan ini didasarkan pada Surat Ijin Peruntukan Penggunaan Tanah (SIPPT) yang dikeluarkan oleh Dinas Tata Kota No. 503.640/3095/DTK/XII/2005 tanggal 8 Desember 2005, dengan rincian sebagai berikut :




Selanjutnya dari hasil pengamatan fisik di lapangan antara lain telah berdiri bangunan Singapore International School (SIS), jalan tembus dari daerah Dago ke Kawasan Punclut, dan pemancangan dua buah bangunan.

SIPPT tersebut dikeluarkan atas dasar Keputusan Walikota Nomor 640/Kep.641-Huk/2005 tanggal 12 Agustus 2005 tentang kelayakan lingkungan pembangunan kawasan wisata dan hunian terpadu punclut sebagai bentuk izin amdal baru untuk PT DUSP. Dokumen amdal ini tidak disusun oleh konsultan lingkungan tertentu tetapi disusun sendiri oleh PT DUSP yang selanjutnya dilakukan penilaian oleh Tim Penilai Amdal BPLH Kota Bandung. Namun tim komisi penilai amdal tersebut belum mengakomodir kelompok masyarakat yang seharusnya terwakili, dalam hal ini pihak pemerhati lingkungan, anggota masyarakat, serta akademisi yang memiliki perhatian terhadap Kawasan Punclut.

Berdasarkan Site Plan pengembangan Wilayah Punclut menjadi kawasan hunian terpadu dan pariwisata yang diantaranya meliputi rencana pembukaan jalan lintas baru dari wilayah Punclut menuju Dago. Rencana pembukaan jalan lintas baru tersebut bertentangan dengan Perda Kota Bandung Nomor 2 Tahun 2004, yang pada Pasal 100 ayat (2) huruf b, menyatakan bahwa Tidak dibangun akses jalan baru melalui Kawasan Punclut.

Namun pada tanggal 8 Maret 2006 ditetapkan Perda Kota Bandung Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Perda Kota Bandung Nomor 2 Tahun 2004, antara lain merubah bunyi Pasal 100 ayat (2) huruf b menjadi Tidak dibangun akses jalan baru ke Kabupaten Bandung melalui Kawasan Punclut, dan terjadi perubahan pada gambar peta Kawasan Punclut yang semula hijau (RTH) menjadi kuning (perumahan dengan kepadatan
rendah).

Pemeriksaan lebih lanjut terhadap dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) dan Rencana Pengelolan Lingkungan (RKL) diketahui bahwa BPLH Kota Bandung tidak melakukan tugasnya untuk melakukan pengawasan terhadap penerapan RKL dan RPL dalam pembangunan kawasan Punclut. BPLH tidak pernah memantau dan meminta dokumen penerapan RPL dan RKL dari PT DUSP sebagai dasar bagi BPLH untuk menilai ketaatan perusahaan. Sampai dengan saat berakhirnya pemeriksaan (5 Nopember 2007), PT DUSP yang seharusnya telah menyampaikan laporan empat kali, tenyata yang telah dilaksanakan hanya satu kali.

Kondisi tersebut tidak sesuai dengan :
a. Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah, Pasal 33 ayat (1) huruf a, menyatakan bahwa Kawasan Lindung sebagaimana dimaksud padan Pasal 31 terdiri dari kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya. Pasal 34 menyebutkan bahwa Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a Pasal 33 Peraturan Daerah ini meliputi kawasan hutan yang berfungsi lindung yang terletak di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) yaitu Bogor; Sukabumi; Cianjur; Purwakarta; Bandung Utara; Bandung Selatan; Garut; Tasikmalaya; Ciamis; Sumedang dan Majalengka.

b. Peraturan daerah Kota Bandung Nomor 02 Tahun 2004 jo Perda Nomor 03 Tahun 2006, Pasal 36 Ayat (1) huruf a menyatakan bahwa Rencana pola pemanfaatan kawasan lindung meliputi kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya. Ayat (2) menyatakan bahwa Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud pada huruf a ayat (1) Pasal ini adalah wilayah Bandung Utara.

c. Lampiran II Perda Nomor 2 Tahun 2004 pada Gambar 6 Rencana Tata Guna Lahan, kawasan Punclut digambarkan dalam peta berwarna hijau yang berarti Ruang Terbuka Hijau.

d. Lampiran I Perda Nomor 2 Tahun 2004 pada Tabel 2 menyatakan bahwa Kelurahan Ciumbuleuit, Kecamatan Cidadap termasuk dalam Lokasi Kawasan Perlindungan Kawasan Bawahan.

Hal tersebut mengakibatkan berkurangnya Ruang Terbuka Hijau Kota Bandung yang akan berdampak pada penurunan kemampuan pemulihan pencemaran udara dan penurunan kualitas lingkungan Kota Bandung. Hal tersebut terjadi karena Walikota tidak konsisten dalam melaksanakan aturan yang ada dan tidak mematuhi peraturan yang lebih tinggi diatasnya.

Atas permasalahan tersebut Kepala Dinas Tata Kota menjelaskan bahwa dalam penerbitan perijinan pemanfaatan ruang di Kawasan Punclut telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dimana Kawasan Punclut dapat dikembangkan bagi kegiatan terbangun. Selain itu penertiban perijinan juga mempertimbangkan aspirasi masyarakat setempat, hak-hak kepemilikan, kondisi lingkungan yang semakin kritis dan kemampuan keuangan daerah. Sedangkan Kepala BPLH Kota Bandung menjelaskan bahwa pada tahun 2006 BPLH telah melakukan peninjauan terhadap pengelolaan lingkungan di lokasi Kawasan Wisata dan Hunian Terpadu Punclut dan PT DUSP telah menyampaikan laporan Semester II Tahun 2006.

Rekomendasi BPK RI
BPK RI menyarankan agar :
a. Menteri Negara Lingkungan Hidup mengkaji pelanggaran di Kawasan Punclut, apabila perlu dilakukan penyelidikan lebih lanjut oleh PPNS Kementerian Lingkungan Hidup.
b. Pemerintah Provinsi Jawa Barat memberikan teguran kepada Walikota Bandung dan

Warga Bandung Dibodohi oleh Dada Rosada soal SIS (Singapore International School)

Kalau anda berjalan ke daerah Dago atas, tepatnya di depan Terminal Dago, anda akan membaca reklame Singapore International School (SIS). Apabila anda terus menelusuri arah petunjuk dari reklame tersebut, anda akan sampai di "jantung" lokasi perusakan kawasan lindung Punclut yang diduga kuat merupakan kolusi dari Dada Rosada dan Fandam Darmawan (PT DUSP)..!!! Di lokasi tersebut SIS berdiri dengan megahnya…




PADAHAL… Pembangunan SIS “tidak pernah ada” dalam masterplan PT DUSP tahun 2005. Proyek SIS juga “tidak pernah tercantum” dalam dokumen AMDAL yang diterbitkan PT DUSP tahun 2005.









Beberapa aksi protes dari aktivis lingkungan tentang “kebohongan publik” Sekolah Internasional Singapur oleh Dada Rosada tidak pernah digubris oleh pihak terkait, termasuk oleh anggota DPRD Kota Bandung.






____________________________________________________

WARGA BANDUNG sedang dalam proses dibodohi melalui keberadaan SINGAPORE INTERNATIONAL SCHOOL di kawasan lindung PUNCLUT…

Jumat, Juli 25, 2008

Janji-janji Palsu Dada Rosada kepada Warga Punclut soal Sertifikasi Tanah

Apakah anda pernah membaca berita tentang beberapa warga Punclut yang mendukung Dada Rosada dalam membangun wisata terpadu milik Fandam Darmawan (PT DUSP)? Bahkan mereka membuat kelompok dan LSM tersendiri dengan mengatasnamakan warga Punclut. Kalau belum, kami lampirkan informasinya di bawah ini:



Dede Suparman (Apih), Pendemo dari FAKAL-BU





Sachri Ramdan dari Forum Silaturahmi Warga Punclut (FSWP)



Dahlan Gunawan, Ketua RW 02 Ciumbuleuit

_____________________________________

TERNYATA… mereka adalah korban janji-janji palsu Dada Rosada yang akan memberikan sertifikat tanah kepada warga Punclut!

Bersama 586 orang lainnya, nama mereka masuk di dalam data BPN Kota Bandung yang akan diberikan sertifikat tanah sesuai dengan luasan yang tercantum. Bahkan beberapa “nama besar” tercantum juga dalam data tersebut dengan luasan yang mencapai lebih dari 5000m.

Jadi, wajar kalau mereka mendukung pembangunan Punclut-nya Dada Rosada yang bersekongkol dengan pengembang PT DUSP…

Berikut hasil scan dari data BPN tersebut:



Beberapa nama yang ada pada kliping berita di atas kami perbesar:



NAMUN… Sampai sekarang (sudah lebih dari 4 tahun), ternyata mereka belum juga mendapat sertifikat tanah seperti yang dijanjikan DADA ROSADA…

Rabu, Juli 23, 2008

Punclut dan KBU

PROBLEM PEMBANGUNAN TANPA PARTISIPASI MASYARAKAT

RAHMAT JABARIL

Koalisi Masyarakat Bandung Bermartabat (KMBB)
Jln. Dago Pojok 45/161, Coblong, Bandung. 40135
surattaboo@yahoo.com

Abstrak

Mempermasalahkan persoalan kota Bandung dewasa ini, tak lain adalah kita dihadapkan pada situasi tata kelola yang ’semberaut’. Hal ini bisa dirasakan dengan kepadatan penduduk 2.795.649 jiwa dari luas kota Bandung 16.729 hektar. Pengelolaan kota yang tidak beranjak dari tradisi partisipatif, tentu akan menciptakan sebuah kota bermasalah. Persoalan itu kita bisa lihat pada persoalan RTRW no 2, 2004 menjadi PERDA RTRW no 3, 2005. Subtansi dari revisi PERDA tersebut berkaitan dengan pengelolaan tata ruang di wilayah Punclut (Bandung Utara), dengan alasan bahwa kawasan Punclut harus dibuatkan akses jalan. Sementara kawasan Punclut tersebut merupakan kawasan hijau sebagai filter udara kota Bandung. Kenyataan ini adalah kenyataan yang dilanggar juga misalnya, dalam proses pembangunan pemukiman. 20 % merupakan sesuatu yang harus dalam hal ini perumahan, dan 80 % penghijauan, dengan konsentrasi titik awal harus membangun penghijauan terlebih dahulu. Tetapi yang terjadi adalah bahwa penghijauan bukan merupakan hal yang utama, termasuk dengan pendirian sekolah Internasional (International School) di kawasan Bandung Utara yang tidak memiliki amdal terlebih dahulu. Juga keamanan kawasan Observatorium Bosscha sebagai pusat penelitian dan kajian Ilmu Pengetahuan, yang terancam keberadaannya karena semakin padat hunian, polusi, silauan lampu-lampu dan getaran tanah. Pelanggaran-pelanggaran ini dilakukan pihak pengembang tanpa mempertimbangkan berbagai aturan yang telah ditentukan, yang tujuan semula adalah demi penyelamatan kawasan Bandung Utara sebagai filter kota Bandung dan keamanan alam kotanya.

Keywords: tata kota, partisipatif, perda, kepadatan, lingkungan.



Pendahuluan.
Gejolak reformasi yang mendorong kekuatan sipil melengserkan Soeharto sebagai pemimpin tunggal tak terhindarkan lagi, 21 Mei 1998 pemimpin orde baru itu harus lengser dari kursi empuknya selama 32 tahun. Pergeseran itu membawa dunia perpolitikan Indonesia berubah, manakala presiden Habibie sebagai pengganti Soeharto membuka ’keran’ demokrasi seluas-luasnya tanpa ada sebuah filter politik demokrasi supra struktur. Maka tidaklah heran jika kekuatan orde baru merubah sistem ketahanannya dengan mendirikan partai-partai baru. Para pelaku di pemerintahan orde baru tak segan-segan mengatasnamakan demokrasi,’bercokol’ kembali di pemerintahan dewasa ini baik di tingkat pusat maupun daerah. Kelangsngan era reformasi yang masih dibayang-bayangi oleh anasir orde baru, membuat gerakan reformasi tersendat-sendat, terengah-engah, tak sesuai yang diharapkan oleh gerakan reformasi sebelum lengsernya Soeharto. Semangat reformasi kala itu memang mendorong mundurnya Soeharto dari jabatan presiden sebagai pusat kekuasaan yang sentralistik. Hingga terbentuknya desentralisasi bahwa kekuasaan berarti seharusnya terciptanya keadilan yang berkelanjutan di masyarakat yang selama pemerintahan orde baru ’dikebiri’.

Debat alot dari salah satu aspek reformasi yang mendapat perhatian publik dan pemerhati politik adalah persoalan kebijakan otonomi daerah terkait pada U.U. no.5 tahun 1974 yang titik beratnya pada otonomi daerah tingkat II (kotamadya dan kabupaten). Kebijakan desentralisasi ini akhirnya mengeluarkan U.U. no.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, dan U.U.no 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat – daerah. Hal ini telah membawa cukup berarti pada hubungan pusat dan daerah. Namun kita bisa lihat meskipun munculnya U.U. No 22/1999 dikatakan lebih berarti dibandingkan U.U. no 5/1974, tetap pada hakekatnya dasar dari otonomi daerah itu hanya menyambut ’batu’ kekuatan kekuasaan di pemerintahan daerah, tidak pada penciptaan kekuatan di masyarakat lokal. Hal tersebut bisa dirasakan pada proses kekuasaan pada pemerintahan kota Bandung periode 2003 – 2008. Manakala kebijakan peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) no. 2 tahun 2004 direvisi 2005 – 2006. Sedang dalam proses revisi tersebut perlu ada pengkajian ulang terkait dengan subtansi peraturan daerah tersebut pada pasal 100 dari Perda RTRW no.3/2006. Tinjauan itu seharusnya berdasarkan partisipasi kewargaan kota terkait dampak lingkungan dari legitimasi untuk proyek pembangunan di kawasan Punclut (Kawasan Bandung Utara).

Perubahan tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di kawasan Punclut, adalah perubahan yang patut dikaji ulang keberadaannya, sebab perubahan tersebut, bisa melihat ulang perannya penafsiran pada UU otonomi daerah yang ditangkap menjadi ’ruang-ruang raja kecil’ di daerah; pengeksploitasian atas nama UU otonomi daerah. Karenanya perubahan RTRW di kawasan Punclut menjadi bermasalah sampai saat ini. Problem permasalahan perubahan itu karena peran partisipasi holistik ideal masyarakat tidak diciptakan. Artinya peran serta masyarakat dalam proses penciptaan perubahan tidak dibangun adanya proses dialog detail antara masyarakat lokal, para ahli dan pemerintah itu sendiri.

Pengujian publik atas nama demokrasi untuk perubahan peraturan daerah (perda) adalah hal yang mutlak harus dilakukan oleh pemerintahan di daerah jika semangat reformasi itu terus dihidupkan dalam bernegara. Pengujian publik yang melibat para ahli yang kompeten dan masyarakat lokal atas potensi daaerah yang akan dibangun merupakan yang sepatutnya dilakukan semua pihak, termasuk pemerintah yang berwenang. Perubahan regulasi yang dilakukan pemkot Bandung pada perda RTRW no 2/2004 pada gilirannya menuai masalah, baik di tingkat horizontal (masyarakat) maupun ancaman bagi kerusakan lingkungan yang berdampak pada masyarakat kota Bandung secara umum, karena persoalan filter udara dan air tanah. Begitupun hal ini menjadi ancaman bagi keselamatan Bosscha sebagai pembelajaran ilmu Astronomi, dimana polusi getaran, debu dan cahaya, akan lebih mengganggu saat pengamatan bintang-bintang. Karena dengan dibangunnya kawasan Punclut, tidak menutup kemungkinan pembangunan akan terus mendekati wilayah kawasan Bosscha, yang aturannya dua kilometer jarak pembangunan berada di wilayahnya.

Kepelikan Punclut Dalam Proses Pembangunan
Jika kita membaca sejarah kota Bandung, pasti berhubungan dengan persoalan ekologi, selain masyarakatnya yang ramah dan kreatif, sekaligus terbuka menerima kedatangan warga dari luar daerah. Namun pada perkembangannya, luas kota Bandung, setahap demi setahap menjadi semakin luas, pada tahun 1825, luasnya kurang lebih hanya 400 hektar, tahun 1906 bertambah menjadi 900 hektar, tahun 1911 menjadi 2.150 hektar, tahun 1921 menjadi 2.853 hektar, tahun 1942 menjadi 3.305 hektar, tahun 1949 menjadi 8.098 hektar, terakhir 1985 hingga sekarang bertambah luas menjadi kurang lebih 16.730 hektar. Begitupun dengan jumlah penduduknya dari tahun ke tahun semakin bertambah. Pada tahun 1811 sebanyak 1.800 jiwa, tahun 1864 menjadi 11.052 jiwa, tahun 1906 menjadi 38.403 jiwa, tahun 1911 menjadi 47.980 jiwa, tahun 1916 menjadi 70.000 jiwa, tahun 1921 menjadi 114.311 jiwa, tahun 1926 menjadi 140.181 jiwa, tahun 1930 menjadi 166.800 jiwa. Tahun 1940 menjadi 299.918 jiwa, tahun 1945 menjadi 433.281 jiwa, tahun 1950 menjadi 644.475 jiwa, tahun 1961 menjadi 972.566 jiwa, tahun 1971 menjadi 1.201.750 jiwa, tahun 1980 menjadi 1.464.966 jiwa, tahun 1985 menjadi 1.635.135 jiwa, tahun 1986 menjadi 1.660.374 jiwa, tahun 1990 menjadi 1.739.878 jiwa, tahun 2000 menjadi 2.136.260 jiwa. Tahun 2006 ada yang mengatakan penduduk kota Bandung mejadi 2.795.649 jiwa. Bahkan menurut prediksi Erla Zwingle dari National Geographic (2000), penduduk kota Bandung akan mencapai 5,3 juta jiwa pada tahun 2015.

Bertambahnya penduduk tak terhindarkan, pembangunan terus juga berkembang. Hal ini tak bisa dipungkiri, seperti halnya kita bisa melihat kota Bandung semakin terancam kesinambungan kehidupannya. Kawasan Bandung Utara (KBU) sebagai kawasan lindung kota Bandung semakin terdegradasi lingkungan hidupnya. KBU yang terletak lebih tinggi dari kota Bandung, sangat strategis sebagai benteng lingkungan kota Bandung. Seperti halnya Punclut, merupakan sebidang lahan di kawasan Bandung utara seluas 268 hektar di wilayah administrasi kota Bandung yang berdekatan langsung pada bibir kota, sebagai filter utama dari udara kota. Kini dikuasai oleh beberapa pengusaha pengembang dan dihuni pemilik dan penggarap lahan (lebih kurang 2.419 k.k). P.T. Dam Utama Sakti menguasai lahan Punclut seluas 248 hektar (meliputi 68 hektar di wilayah kota Bandung dan 80 hektar di kabupaten Bandung). P.T. Mullia Sejati, 205 hektar dan P.T. Trigana 0,9 hektar. Penataan di kawasan ini menjadi sangat penting, karena akan menjadi entry point bagi penataan kawasan Bandung Utara secara keseluruhan.

Kawasan Punclut dilalui oleh sungai Cisungapan, Cipicung, Gintung, Sekojolang dan Cikapundung. Sekarang kondisinya sangat mengkhawatirkan, oleh karena itu keberadaan Punclut sebagai kawasan lindung sangatlah unik dan tidak tergantikan. Kota Bandung dengan topografi cekungan, sensitif, padat penduduk dan sumber daya terbatas, memerlukan fungsi lindung dari kawasan Punclut dan tidak ada penggantinya. Namun pada perkembangannya penataan di kawasan itu membuat ’jengah’ para pemerhati lingkungan, sebab kawasan yang sepatutnya dihijaukan malah dibangun bahkan dibuatkan aturannya oleh pemerintahan kota dengan merevisi perda RTRW no.2/2004 menjadi perda RTRW no. 3/2006. Sementara pada aturan baru itu diatur 20% perumahan dan 80% penghijauan, namun pada kenyataannya pihak pengembang membangun berdasarkan anggapan kepentingan. Bahkan pada prosesnya seharusnya dihijaukan terlebih dahulu, dan kenyataannya tidak diperhatikan oleh pihak pengembang. Pada perkembangan berikutnya pihak pengembang membangun Singapore International School tanpa dibuat terlebih dahulu amdalnya. Namun pemkot kota Bandung tidak memperhatikan proses di lapangan. Kenyataan itu membuat warga kota yang tergabung dalam organisasi Koalisi Masyarakat Bandung Bermartabat (KMBB) mempertanyakan proses regulasi yang dibuat pemkot Bandung. Bahkan mem-PTUN kan atas revisi perda RTRW no.3 tahun 2006 tersebut.

Kekicruhan pada proses pembangunan di kawasan Punclut, pihak pengembang dan pemerintah kota Bandung ’membujuk’ warga setempat bekerja sama mendukung proyek tersebut dengan aksi-aksi dukungan, sebagai sebagai aksi tandingan pada pihak yang tidak setuju atas proyek tersebut. Alasan mereka mendukung pembangunan karena pemerintah kota dan pengembang menjanjikan akan dibuat akses jalan, serta sarana-sarana publik lainnya seperti, sekolah dan rumah sakit. Berbagai wacana tumbuh, baik dari pihak penolak maupun pendukung. Pada berikutnya, maka tidaklah heran muncul sebuah ketegangan di ranah sosial, berdampak tidak adanya kepercayaan antara sesama penduduk, juga di kalangan para akademisi yang terlibat di persoalan itu. Seperti halnya kelompok pemerhati lungkungan dan institusi Astronomi Bosscha sebagai sarana pembelajaran Ilmu pengetahuan di bidang Astronomi. Alasan pusat pendidikan Astonomi , karena dengan banyaknya pembangunan di kawasan Punclut dan Bandung Utara pada umumnya akan berdampak negatif pada proses pengamatan. Hal ini diakibatkan karena, polusi getaran, debu dan cahaya lampu. Maka diatur dua kilo dari kawasan Bosscha tidak boleh ada pembangunan.

Observatorium Bosscha
Observatorium Bosscha didirikan di Lembang, Bandung, Jawa Barat. Alasan pemilihan tersebut karenanya, Lembang merupakan tempat atau wilayah yang sangat Kondusif untuk penelitian Astronomi ditinjau dari berbagai sisi, baik dari sisi kependudukan, geologi, ekologi maupun meteorologi. Dari kependudukan, kota Lembang masih dapat dikatakan ’cukup sepi’ pengguni, sehingga tidak banyak penerangan yang mengganggu proses pengamatan. Pada situasi cerah di malam hari, langit akan gelap, sehingga cahaya bintang akan terlihat dengan jelas. Gelapnya langit sangat menguntungkan bagi para Astronom, karena akan menghasilkan proses penelitian yang lebih akurat dari hasil pengamatan. Pada wilayah Geologi, Lembang bisa dikatakan sangat stabil, sehingga pemasangan alat-alat berat untuk pengamatan bisa dipermanenkan karena tidak akan berubah orientasi manakala diakibatkan adanya gerakan-gerakan tektonik atau getaran-getaran lainnya. Begitupun pada keberadaan ekologi, Lembang bisa dikatakan sebagai kawasan hijau tentu sangat menguntungkan bagi keberadaan Bosscha. Sebagai ruang pengamatan secara meteorologi atau ilmu iklim dan cuaca, Lembang memiliki cuaca yang stabil, 70% cerah dalam setahun. Kelembaban tidak terlalu tinggi dan hembusan angin tidak terlalu kencang.

Pada tahun 1923 Observatorium Bosscha resmi dibuka, Voete-lah yang kemudian menjadi direktur pertama, pada saat itulah teropong Zeiss, besar 24” dimiliki oleh Observatorium Bosscha, merupakan teropong ketiga terbesar di belahan bumi bagian selatan, setelah teropong observasi di Afrika Selatan dan Australia. Observatotium didirikan di berbagai belahan dunia untuk mendekatkan mata kita dengan luasnya angkasa luar. Indonesia memiliki observatorium, salah satu dari sedikit observatorium yang ada di belahan bumi bagian selatan. Saat dunia mencoba melengkapi peta Bintang, zona langit sekitar 70 lintang selatan di samudra Hindia menjadi wilayah yang hanya teramati di observatorium Bosscha, karenanya observatorium tersebut dilengkapi dengan peralatan peneropongan selain Zeiss, yakni Schmidt, GOTO, Bamberg dan Unitron .

Namun fonomena kekinian mulai mengancam keberlangsungan observatorium Bosscha. KBU secara ekologis merupakan kawasan konservasi, pada awal 1980 pembangunan di KBU, tidak sesuai lagi dengan peraturan yang menjadi ketentuan mutlak kebijakan tata ruang. Karenanya dampak dari pembangunan yang terus menerus membuat peneropongan bintang tersebut mulai terganggu. Bahkan munculnya isue mulai akan ada penggusuran observatorium, dan dibangunnya hotel-hotel serta mall-mall, yang tentunya akan menjadi tidak baik dan menggeserkan makna kota cekungan yang berbasis ilmu pengetahuan dan ramah budaya. Bahkan pada perkembangannya, pemerintah Daerah Tingkat Satu Jawa Barat telah mengeluarkan perda perlindungan pada KBU, termasuk di dalamnya masalah Observatorium Bosscha. Namun aturan tersebut tidak begitu begitu diperhatikan pihak pengembang dan pemerintahan di tingkat kotamadya dan kabupaten.

Bukti tidak ada perhatian dari pemerintahan di tingkat kotamadya dan kabupaten, yaitu dengan resistensi mereka pada pasal 21-22 tentang perijinan lokasi yang akan dibangun dari perda no.10 tahun 2007 tentang perlindungan KBU. Dengan alasan sebagai pengembangan pendapatan ekonomi daerah. Namun alasan tersebut tidak memperhatikan kepentingan makro dari masyarakat cekungan Bandung. Dimana di dalamnya kepentingan penyelamatan cagar Budaya dan sarana Ilmu pengetahuan di bidang pengamatan bintang (Observatorium Bosscha), sebagai salah satu aset kebanggaan bangsa Indonesia dan warga Bandung khususnya. Subtansi dari perda perlindungan KBU no.10 tahun 2007 itu berada pada pasal 21-22 tentang setiap proses perencanaan pembangunan di tingkat daerah baik kotamadya/kabupaten harusa dikoordinasi terlebih dahulu pada pemerintahan di atasnya dalam hal ini, propinsi Ja wa Barat. Maka itulah pemerintah kota maupun kabupaten, serta kota Cimahi, atas nama UU otonomi daerah no 22 tahun 1999, bahwa pemerintah daerah kota dan kabupaten mempunyai hak untuk hidup berkelanjutan pada pemerintahannya.

Pentingnya Partisipasi Masyarakat Pada Pembangunan Daerah
Semangat pembangunan daerah dewasa ini, tak lain adalah bisa bisa mengeruk keuntungan lima tahunan bagi pengusaha daerah. Hal ini bisa terjadi di tingkat kotamadya dan kabupaten, bahkan pemerintahan di bawahnya. Mereka cenderung menangkap UU otonomi daerah itu sebagai peluang menciptakan kekuasaan dimana peranannya dianggap penting. Untuk pencapaian kenikmatan kekuasaannya, tak heran jika pengejawantahan hasratnya dibuat payung hukum atas nama peraturan daerah (perda) dan peraturan wilayah (perwal). Pada itulah pemerintah daerah memainkan perannya atas nama kekuasaan daerah. Atas semangat itulah, maka tak heran proses regulasi yang dibuatnya penuh dengan berbagai manipulasi atas nama demokrasi kewargaan. Inilah sebuah cara untuk kelangsungan kekuasaannya. Demokrasi semacam itu adalah demokrasi ’simularka’, dimana aturan mainnya menggunakan model kooperasi antara lembaga formal atas nama rakyat, pengusaha, dan ’stickholder’ yang dibuatnya sangat paradoks, seperti yang dikatakan Herr Duhring, dengan demikian membelah masyarakat menjadi unsur-unsurnya yang paling sederhana, dan dengan berbuat begitu, menemukan bahwa masyarakat paling sederhana terdiri atas sekurang-kurangnya dua orang. Dengan kedua orang ini dia mulai beroperasi secara aksiomatik. Dan begitulah aksioma moral dasar dengan sendirinya (dalam Frederick Engels. 2005: 130).

Kepercayaan pada potensi manusia yang berada kedudukannya atas nama masyarakat, merupakan hal yang patut dilihat dan direduksi kebenarannya untuk proses pembangunan. Karenanya dimana proses-proses berskala kecil dan fenomena-fenomena yang muncul pada level individual menjadi titik pusat pencarian ilmiah dan dipandang sebagai tingkat dasar dalam analisis sosial. Individu, interaksi antar individu dan kelompok-kelompok kecil membentuk masyarakat. Masyarakat merupakan penjumlahan dari sejumlah proses di dalam dan di antara individu-individu dan bukan merupakan sejumlah struktur besar (grand structure) (Robert Mirsel. 2004: 29). Maka konsepsi pembangunan seharusnya mengacu pada detail dari arti sejumlah proses pembentukan masyarakat itu sendiri.

Pada pembentukan masyarakat, tidak sesederhana muncul begitu saja, namun di dalamnya ada proses pembentukan sejarah. Hal ini sebagai salah satu potensi yang patut dilihat tanpa harus ditutup-tutupi manakala, perencanaan tata ruang wilayah mengubah artefak sebagai salah satu aset sejarah. Mencoba membayangkan seperti apakah kiranya hidup sehari-hari dalam masyarakat, jika tak ada seorangpun yang tahu tentang sejarah. Imajinasi macet, sebab hanya melalui pengetahuan tentang sejarah dirinyalah, suatu masyarakat bisa memiliki pengetahuan tentang dirinya sendiri. Sebab manusia tanpa memori dan pengetahuan diri, adalah manusia yang mengambang, demikian pula suatu masyarakat tanpa memori (atau lebih tepatnya, tanpa kemampuan mengingat) dan pengetahuan diri akan menjadi masyarakat yang mengambang (Stuart Sim. 2002: 1-2). Maka itulah kiranya yang menjadi perdebatan publik terkait dengan proyek pembangunan di kawasan Punclut. Proyek itu dilegitimasi oleh peraturan daerah, yang sebelumnya telah dilakukan pengurugan oleh pengembang sebelum perda yang mengatur penataan di kawasan Punclut itu direvisi. Maka begitu jelas penutupan sejarah telah terjadi, tanpa memperhitungkan kelangsungan hidup masyarakatnya yang berkelanjutan.

Partisipasi Semu
’Viva La Muerte’, adalah semboyan dari sebuah semangat untuk menghancurkan segala sesuatu yang hidup menjadi benda mati, ingin menghancurkan apa saja dan siapa saja, bahkan diri mereka sendiri (M. Fadjroel Rachman. 2007: 190). Kesadaran utuh individu sebagai manusia yang tidak lepas dari kodratnya sebagai mahkluk sosial, merupakan hal yang harus dielaborasikan baik oleh individu maupun oleh organisasi manusia itu sendiri, yaitu negara. Kesatuan utuh individu dalam kehidupan sosial tentu tak semudah apa yang kita bayangkan, karena peran pemerintah sebagai organisasi manusia harus mampu memberikan saluran yang demokratis partisipatif. Namun pada perkembangannya ketika alur ’kran’ demokrasi dibuka. Tak heran juga karena kesadaran untuk menghidupkan kehidupan manusia di tingkat lokal tidak ada. Maka kekuasaan yang berbasis otonomi daerah, merupakan kelanjutan kekuasaan di jaman orde baru.

Penciptaan partisipasi atas nama demokrasi dari amanat perjuangan reformasi semata hanyalah teks saja, sebagai ruang demokrasi semu, karena peran teks tersebut sebagai alat untuk menutup mata dari kesadaran utuh dari individu dan ruang lingkup di ranah sosial. Secara kuantitatif, proses partisipatif memang jauh lebih sering dilakukan, beberapa pengalaman kasus-kasus menunjukkan kualitas yang sangat tinggi, tapi keberhasilan masih sangat tergantung pada interest personal, bukan karena adanya perubahan sistem dan insentif. Masyarakat diinformasikan dan dikonsultasikan tetapi umumnya masih tidak terlibat dalam pengambilan keputusan (Hetifah SJ. Sumarto. 2004: 111). Pada itulah kita bisa melihat peran partisipasi yang diciptakan untuk kepentingan proyek pembangunan di kawasan Punclut dan wilayah KBU pada umumnya. Peran masyarakat untuk mendukung proyek pembangunan sangat penting untuk mendorong regulasi yang dikeluarkan pemerintahan kota Bandung. Karenanya pe-rekayasa-an pembentukan partisipasi begitu saja terjadi, dan partisipasi macam ini adalah partisipasi semu. Detail dan ruang individu dan ruang sosial di tingkat lokal tak menjadi spektrum atau menjadi sebuah slogan persoalan yang sepatutnya dibangun.

Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) kejahatan perang maupun perkosaan yang bukan sekedar pelampiasan hasrat seksual, tetapi dijadikan alat untuk kepentingan politik tertentu (M. Fadjroel Rachman. 2007: 190). Proses anti kemanusiaan semacam itu merupakan kejahatan yang tidak bisa ditolerir, sebab kejahatan yang diciptakan untuk kepentingan politik kekuasaan, merupakan kejahatan struktural yang dilegitimasi atas nama negara. Jika pada gilirannya semacam kejahatan struktural, maka tak terjaminnya kesejahteraan dan akan terciptanya rasa ketidak-adilan dan kemiskinan yang holistik. Kemiskinan yang berdampak ketegangan sosial di masyarakat. Orientasi ini merupakan gerakan kemasyarakatan semakin kritis-diri, dan ini merupakan cikal bakal kelemahan posisi makna masyarakat. Golongan partisipasi ideal tentu tak menjadi hal yang ideal buat seorang pemimpin, yang cukup sadar bahwa kekuasaannya tidak diperoleh dengan pendelegasian tapi diambil dengan kekerasan, juga tahu bahwa kekuasaannya didasarkan pada kelemahan massa, yang begitu lemah sehingga membutuhkan dan layak mendapatkan seorang ”yang mendominasi” (Umberto Eco. 2002:115).

Kultur Lokal Yang Dieksploitasi
Gerakan-gerakan kemasyarakatan pada periode ini juga dipengaruhi oleh aliran-aliran pemikiran dan paradigma-paradigma kekuatan lokal sebagai basis pertahanan daerah yang eksploitatif. Misalnya penggunaan gaya (passion) dan gestur yang kadang-kadang menyeramkan, menunjukkan identitas yang tidak bisa dikalahkan. Namun keberadaan itu semua, bukannya sebagai kekuatan lokal yang sebenarnya, namun sebagai media politik kekuasaan yang menentukan siapa yang berwenang dalam menentukan proses pemerintahannya. Hal itu bisa dilihat banyak peristiwa pada akhir 1998-an hingga saat ini, bermunculan gerakan-gerakan baru. Gerakan-gerakan baru ini tidak bisa dilihat sebagai gerakan yang mengarah kepada perkembangan maju menuju masyarakat yang inklusif, egaliter dan demokratis. Menurut Robert Mirsel (2004:18), bahkan gerakan ini menghilangkan identitas dari hakekat kelokalan itu sendiri.

Hal yang hilang dari peran kelokalan dikarenakan psikologi yang panik dari masyarakat setempat (panic group). Situasi seperti ini tentu membuat para politisi kekuasaan memanfaatkan sebagai media kekuatan politiknya. Karenanya menurut Robert Mirsel (2004:34) pula, teori gerakan kemasyarakatan berhubungan erat dengan teori tingkah laku kolektif (collective bohaviour theory). Fenomena-fenomena seperti kelompok yang panik (panic group), kelompok histeris (hysterias), dan kelompok yang bertingkah laku cepat sekali berubah-ubah (fads) dan tingkah laku kerumunan (crowel behaviour). Pada pemahaman hal diatas, kita bisa melihat peran kewargaan lokal, dalam menentukan sikap mendukung proyek pembangunan Punclut. Mereka menyuarakan sebagai masyarakat lokal dengan menunjukkan gestur dan bahasanya, terkait dengan aksi-aksi di jalanan dan di gedung-gedung pemerintahan. Bahkan setiap kali ada pengunjuk rasa yang tidak setuju pada pembangunan di kawasan Punclut, warga lokal dengan lantang menantang perang, kegamangan warga lokal pada peran politik yang provokatif, vandalis dan pragmatis, membuat peran kultur yang sesungguhnya dari masyarakat lokal terekploitasi, kehilangan arah dan menuju kematian bersama di tingkat lokal.

Peran Media Massa Pada Kelokalan Sejati
Media massa bisa mempengaruhi kehidupan politik negeri tersebut hanya dengan menciptakan opini. Namun kekuasaan tradisional tak bisa mengontrol media itu sendiri (Umberto Eco. 2002: 46). Sebab peran media massa sangat begitu penting untuk menyangga keberadaan masyarakat lokal, sebab pembahasan publik terkait dengan persoalan lokal, menjadi terbaca secara terbuka dan menjadi kekuatan politik publik yang lebih luas. Karena itu menjadi sensitif bagi para pengusaha di bidang media massa. Tentu pada gilirannya kemana media massa akan berpihak, yakni pada kepentingan masyarakat lokal atau pada kepentingan para pengusaha dan penguasa atau pada para pengembang, yang mengeksploitasi lingkungan lokal. Sejauh ini peran media massa pada proyek pembangunan yang terancam peran partisipasi warga terlihat naik dan turun, sebab media massa sebagai representasi ruang publik yang menjadi industri tak mampu memberi wadah suara lokal yang sebenarnya, terutama pada media lokal itu sendiri. Industrialisasi dan komersialisasi media juga berpengaruh besar dalam mendorong proses depolitasi publik .

Slogan yang berkembang pada persoalan Punclut, KBU dan Bosscha, media massa cukup memberikan ruang informasi yang menarik dan cukup memberikan penjelasan tentang kekicruhan pada proses pembangunan pada publik, terutama pada media Nasional, seperti Kompas, Seputar Indonesia, dan beberapa media lokal seperti Radar Bandung, dan STV sebuah stasiun Televisi lokal. Namun yang tidak menarik dari persoalan media massa lokal yang bermain politik dengan kekuasaan lokal, adalah kepura-puraan demokratis dengan menyanding berita, tetapi dari pihak penguasa lokal-lah yang sering mendapatkan ruang-ruang besar kolom beritanya. Kata Agus Sudibyo, bertolak dari fakta-fakta di atas, muncullah pesimisme tentang korelasi positif antara kebebasan perss dan proses demokratisasi.

Penutup
Peran partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan, merupakan keharusan, yang sesungguhnya dari cita-cita perjuangan atau semangat reformasi 1998. Namun pada perkembangannya ketika ruang demokrasi, yang sepatutnya menjadi hal yang bermaslahat untuk masyarakat, menjadi terbalik, hanya pada kekuasaan elit politiklah yang mendapat ’kue’ hasil pergerakan masyarakat itu sendiri. Padanyalah kita bisa melihat dan membaca persoalan pe-rekayasa-an atas nama aturan yang menjadi ’alas pijak’ pengrusakan tatanan kehidupan di lingkungan masyarakat.

Pencarian partisipasi tentunya tak semudah ’membalikkan tangan’, sebab anasir-anasir orde baru yang pragmatis, birokratis dan vandalis, masih berperan melalui pintu U.U otonomi daerah no. 22/1999 dan U.U. otonomi daerah 32/2004. Sebagai hasil amandemen U.U Dasar 1945. Partisipasi yang sebetulnya tak terbangun baik di tataran infrastruktur (pemerintahan) maupun di suprastruktur (masyarakat). Maka tidaklah heran jika pada gilirannya, kegamangan dan rasa panik menghadapi perkembangan jaman yang semakin mendesak dan menekan.

Kepanikan dalam menghadapi persoalan ’slogan’ pembangunan, terbukti terjadi. Misalnya di pemerintahan kota Bandung, dan masyarakat sebagai ’obyek penderita’ dari pembangunan itu sendiri. Sementara jaminan kepura-puraan demokrasi atas nama partisipasi semu (masyarakat lokal yang dikondisikan menyetujui pembangunan). Hanyalah penderitaan yang berkelanjutan, dan kesemuan tersebut karena ketidak-adaan proses dialog antara pemerintah, masyarakat lokal dan para ahli yang kompeten di bidangnya. Karenanya proses dialog yang detail terkait pada potensi kelokalan menjadi penting dalam melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan bagi masyarakat itu sendiri.

Catatan (Notes)
Mengutib dari makalah Sobirin dan Mubyar dalam buku ‘Kota Cekungan Kota Impian” KMBB (dalam proses penerbitan).
Data diambil dari pengantar buku, (2007) “Selamatkan Bosscha”, yang ditulis Himpunan Mahasiswa Astronomi (Himastron) ITB. Resist Book: Yogyakarta.
Lihat pada buku (2005) “ Republik tanpa Ruang Publik” dalam tulisan dari Agus Sudibyo, hal. 117.


Bibliography
1. ECO, Umberto. 2002. “Lima Serpihan Moral”. Terj. Eka Kurniawan dan Elpiwin Adela. Jendela: Yogyakarta.
2. ENGELS, Frederick. 2005. “Anti-Duhring”. Terj. Oey Hay Djoen. Hasta Mitra dan Ultimus: Bandung
3. JABARIL, Rahmat. (ed.) 2007. “Selamatkan Bosscha”. Resist Book: Yogyakarta.
4. JABARIL, Rahmat. (ed.) siap terbit “ Kota Cekungan Kota Impian” (masih dalam proses)
5. MIRSEL, Robert. 2004. “ Teori Pergerakan Sosial”. Yogyakarta: Insist Book
6. RACHMAN, M. Fadjroel. 2007. “ Demokrasi Tanpa Kaum Demokrasi”. Kukusan: Depok.
7. SIM, Stuart. 2002. “Seri Postmodern. Derrida dan Akhir Sejarah”. Terj. Sigit Djatmiko. Jendela: Yogyakarta.
8. SJ. SUMARTO, Hetifah. 2004. “Innovasi, Partisipasi dan Good Govermance”. Yayasan Obor: Jakarta.
9. SUDIBYO, Agus; Bagus Takwin; B. Herry-Priyono; F. Budi Hardiman; M. Kusnaeni; R. Kristiawan; Saldi Isra; Yasraf A. Piliang. (2005). “Republik Tanpa Ruang Republik” Ire Press: Jakarta

Sabtu, Juli 12, 2008

Akal-akalan Dada Rosada




Kompas, Selasa, 22 Juni 2004

Ada Manipulasi Peta RTRW Kota Bandung

Bandung, Kompas - Rencana Pemerintah Kota Bandung untuk membangun Kawasan Punclut menjadi daerah agrowisata, rumah kebun, dan jogging track, dianggap menyalahi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat, yang menjadikan Kawasan Bandung Utara termasuk Punclut sebagai daerah dengan fungsi lindung.

Selain itu, jika pembangunan yang dilakukan pemerintah kota di kawasan tersebut merujuk kepada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung, para pakar dan pemerhati lingkungan melihat adanya manipulasi terhadap peta RTRW yang ada.

Menurut anggota Bagian Informasi dan Komunikasi Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), M Taufan Suranto, Senin (21/6), terdapat perbedaan peta dalam rancangan peraturan daerah tentang RTRW yang ditandatangani DPRD Kota Bandung dengan yang telah disahkan oleh Wali Kota Bandung Dada Rosada pada tahun 2004.

Dalam peta Raperda RTRW Kota Bandung yang ditandatangani DPRD sebelumnya, kawasan Punclut berwarna hijau yang menandakan daerah tersebut sebagai kawasan lindung.

Adapun dalam RTRW yang ditandatangani Wali Kota Bandung, peta Kawasan Punclut terdapat warna kuning muda dan tambahan legenda (keterangan peta) yang menunjukkan daerah tersebut sebagai kawasan perumahan dengan kepadatan rendah.

Padahal, di peta yang terdapat dalam Raperda RTRW yang ditandatangani DPRD hanya terdapat legenda warna kuning yang menyatakan daerah perumahan.

"Perbedaan tersebut hanya ada pada peta yang menyertai RTRW yang ditandatangani DPRD dan disahkan wali kota. Namun, isi teksnya tidak ada perubahan," kata Taufan.

Perubahan peta RTRW tersebut, tambah Taufan, bisa disebabkan anggota DPRD tidak mengecek kembali saat Raperda RTRW tersebut disahkan menjadi perda oleh wali kota.

Meskipun demikian, anggota Dewan Pakar DPKLTS S Sobirin enggan menyebut hal tersebut sebagai manipulasi. Namun, ia membenarkan adanya perbedaan peta RTRW tersebut.

Keinginan warga

Sementara itu, seusai rapat tertutup dengan sejumlah dinas terkait dan wakil warga Punclut, Wali Kota Bandung Dada Rosada menegaskan bahwa pembangunan di kawasan Punclut akan terus dilanjutkan karena pembangunan tersebut diinginkan warga Punclut.

Dalam kesempatan itu, Dada membenarkan kalau sudah ada izin lokasi yang dikeluarkan Pemkot bagi pembangunan Punclut, meski itu dikeluarkan semasa pemerintahan Wali Kota Aa Tarmana. Untuk memperoleh izin prinsip, Pemkot akan melihat sejauh mana keterlibatan warga, kemudian dilakukan perencanaan oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Dinas Tata Kota.

Selanjutnya, rencana tersebut diajukan ke DPRD untuk memperoleh izin prinsip. Mengenai rencana pembangunan berwawasan lingkungan, Dada mengatakan, itu semua perlu pengawasan terus-menerus oleh warga setempat. Dalam pembangunan Punclut, 80 persen wilayah harus diperuntukkan bagi penghijauan, sedangkan pembangunan cukup 20 persen.

Menanggapi kegigihan Wali Kota Bandung yang akan terus membangun Punclut, Sobirin menilai aspirasi seluruh masyarakat harus diperhatikan. Untuk itu, LSM dan pemerhati lingkungan harus diajak berembuk mengenai masalah tersebut. Sobirin yakin, lebih banyak aktivis lingkungan dan warga Bandung yang menolak pembangunan Punclut daripada yang menyetujuinya.

Sobirin menilai, konsep pengelolaan Punclut yang diserahkan kepada pengembang dengan alasan kawasan tersebut selama ini terbengkalai dan pemerintah tak memiliki dana cukup, sebagai langkah yang keliru. Jika pengelolaan kawasan tersebut diserahkan kepada pengembang, orientasi mereka hanya sebatas sampai permukiman yang mereka bangun laku terjual.

Namun, bila pengelolaan tersebut diserahkan kepada masyarakat, kawasan Punclut akan berubah menjadi hutan kota. "Masyarakat sekitar Punclut dapat diberdayakan dalam konsep pengembangan Punclut sebagai hutan kota di mana Punclut akan ditanami berbagai tanaman keras dan buah-buahan yang hasil nonkayunya dapat dinikmati masyarakat sekitar," kata Sobirin.

Ia juga memahami dukungan warga atas pembangunan Kawasan Punclut karena selama ini mereka memang terpinggirkan.

Namun Sobirin berharap agar pembangunan daerah tersebut disesuaikan dengan fungsinya sebagai kawasan lindung.

Sobirin juga menilai, meskipun pengembangan Punclut tetap akan memperhatikan building coverage ratio (BCR), hal tersebut tidak tepat. Karena jika BCR tetap dijadikan perdebatan, yang muncul kembali adalah semangat untuk membangun perumahan. Padahal, Kawasan Punclut jelas-jelas merupakan daerah dengan fungsi lindung.

Sobirin mengatakan, banyak ahli yang dapat dilibatkan untuk menentukan pola pengembangan Punclut yang paling sesuai baik dari sisi ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. (K11/K12)

Sumber: http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0406/22/Jabar/1103843.htm

Selasa, Juli 08, 2008

Kertas Posisi

Batalkan Perda Perubahan RTRW Kota Bandung..!!
Tolak Pembangunan Hotel dan Villa di Punclut..!!

Secara demonstratif Walikota Bandung Dada Rosada telah menandatangani pengesahan Perda Perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung pada tanggal 8 Maret 2006 di Lapangan Dengdek Punclut. Sejak awal, proses penyusunan Perda tersebut banyak menuai protes dari para pemerhati lingkungan, Akademisi, LSM, mahasiswa dan masyarakat luas karena akan merubah peruntukkan sebagian kawasan lindung di Kawasan Bandung Utara (KBU) menjadi kawasan budidaya berupa Hotel dan Villa.

Seperti diketahui, Walikota Bandung melakukan perubahan terhadap Perda No. 2 tahun 2004 tentang RTRW Kota Bandung yang baru berumur satu tahun dengan pertimbangan untuk menyempurnakan sebagian materi RTRW yang kedalamannya terlalu detail, kaku dan kurang memberikan ruang gerak bagi pengembangan kota, sehingga terdapat beberapa kendala dalam implementasinya. Namun, banyak kalangan menganggap bahwa hal itu hanya akal busuk Walikota belaka, bahkan evaluasi Gubernur Jawa Barat dalam suratnya tanggal 20 Januari 2006 menilai bahwa perubahan dimaksud belum mencerminkan dapat menjawab hal-hal yang melatarbelakangi perubahan RTRW Kota Bandung tersebut.

Selain itu, rencana perubahan Perda merupakan tindakan reaktif Walikota Bandung setelah dihujani banyak aksi massa yang menolak pembangunan di Punclut dan adanya gugatan publik “Legal Standing” terhadap Walikota Bandung di PTUN oleh salah satu LSM lingkungan tentang pembangunan jalan baru melalui kawasan Punclut yang tidak sesuai dengan RTRW. Ironisnya, perubahan Perda ini justru pada “akhirnya” didukung juga oleh sebagian besar anggota DPRD Kota Bandung yang mengaku sebagai wakil rakyat.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa perubahan terhadap Perda RTRW dikarenakan adanya konspirasi antara penguasa dan pengusaha yang berencana membangun Hotel dan Villa di kawasan Punclut. Perubahan RTRW pada pasal-pasal selebihnya hanyalah sebatas pelengkap belaka, dan lagi-lagi untuk kepentingan pemodal kapital serta untuk mengalihkan perhatian publik dari pembangunan Hotel dan Villa di Punclut. Coba saja lihat perubahan pasal yang menyangkut penataan pasar tradisional yang lebih mementingkan para pengembang ketimbang pedagang asli, atau pasal-pasal tentang Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan Koefisien Lantai Bangunan (KLB) yang berbelit-belit.

Skenario konspirasi tersebut menjadi sangat kentara dengan dipilihnya Punclut sebagai lokasi penandatanganan Perda. Dengan dikawal ketat oleh ratusan anggota Ormas/OKP, saat itu Walikota juga secara gagah-berani dan bangga meneriakkan kemenangannya melawan orang-orang yang pro-lingkungan. Seperti biasa, masyarakat asli Punclut yang hadir hanyalah dijadikan pemanis ruangan semata. Mereka tidak sadar bahwa akar budaya dan akses kehidupannya kelak akan terserabut oleh megahnya Hotel, Villa dan gemerlapnya kehidupan kaum kapitalis.
Lalu... kenapa Walikota harus mengorbankan makna dan cakupan Tata Ruang Kota Bandung yang sangat luas dan menyeluruh hanya demi kepentingan pribadi pengembang Punclut? Ada apa dengan Walikota Bandung? Kenapa Walikota lebih mementingkan segelintir pengusaha ketimbang nasib rakyat banyak di Cekungan Bandung yang akan terkena dampak apabila kawasan lindung Punclut dibangun?

Adalah PT DAM Utama Sakti Prima (DUSP) dengan Direktur Utamanya Fandam Darmawan yang diindikasikan sangat kuat sebagai salah satu pihak pembuat “Evil Scenario” perubahan RTRW Kota Bandung. Betapa tidak, ijin lokasi pembangunan Hotel dan Villa dari “Meneer” yang satu ini, berdasarkan lampiran peta RTRW Kota Bandung berada di dalam kawasan lindung Punclut Bandung Utara yang berwarna hijau.

Kalau kita perhatikan lebih seksama lampiran peta pada Perda Perubahan RTRW, tampak nyata bahwa perubahan sebagian warna hijau kawasan lindung di Punclut menjadi kawasan budidaya yang berwarna kuning berada persis pada site-plan pengembangan proyek Hotel dan Villa PT DUSP. Dengan kata lain fungsi PUBLIK kawasan lindung di Punclut-KBU untuk memberikan perlindungan pada kawasan bawahannya sesuai Kepres 32 tahun 1990 tentang kawasan lindung telah DIRAMPOK oleh Perda Perubahan ini demi kepentingan PRIBADI pengembang Punclut.

Skenario jahat lain adanya perubahan RTRW kota Bandung adalah karena sudah dibangunnya jalan tembus baru melalui kawasan Punclut oleh PT DUSP. Padahal, lagi-lagi, pembangunan jalan tersebut telah nyata melanggar Perda No. 2 tahun 2004 tentang RTRW Kota Bandung pasal 100 ayat (2) butir b yang berbunyi “tidak dibangun akses jalan baru melalui kawasan Punclut”. Terhadap pelanggaran yang sangat mencolok mata publik tersebut, Pemkot Bandung bukannya “menindak” si pelanggar hukum, tetapi malah Perda RTRW-nya yang “ditindak” dengan cara merevisi pasal-pasal yang dianggap menghalangi skenario jahat tersebut. Kami menilai bahwa Perda Perubahan RTRW ini adalah cermin dari INKONSISTENSI dan KETIDAKMAMPUAN Pemkot Bandung terhadap penegakkan hukum Perda RTRW sebelumnya..!!

Dilihat dari sisi status pertanahan, kawasan Punclut ternyata masih mempunyai permasalahan sengketa agraria. Tanah Punclut adalah ex-Erpach yang pada tahun 1961 sebagian telah diberikan oleh Menteri Muda Agraria Mr. Soejarwo kepada para pejuang ’45 dan pihak lain yang berjasa kepada negara dalam bentuk 943 SHM setelah melalui proses ganti rugi kepada negara. Pada perkembangannya, para pemilik kapling tidak membangun rumah di sana dikarenakan adanya surat Gubernur Jabar tahun 1982 yang melarang pembangunan di KBU. Namun, pada tahun 1997 Menteri Negara Agraria/Kepala BPN waktu itu Soni Harsono secara sepihak membatalkan 943 SHM tersebut dengan alasan tidak dibangun oleh pemiliknya, tetapi di sisi lain Menteri juga memberikan “perlakuan khusus” untuk meneruskan pembangunan kepada PT DUSP yang sudah mempunyai ijin lokasi. Atas pembatalan yang diduga penuh rakayasa itu, setidaknya 60 orang pemilik SHM telah melayangkan gugatan ke PTUN, bahkan sebagian kasusnya sudah dalam tahap kasasi di Mahkamah Agung. Dengan demikian, status pertanahan di sana belum mempunyai kekuatan hukum tetap karena masih dalam proses kasasi di MA, begitu pula status tanah yang berada di atas lahan PT DUSP..!!

Perubahan RTRW Kota Bandung Bertentangan dengan kepentingan Umum

Keputusan Presiden (Kepres) No. 32 tahun 1990 mendefinisikan kawasan lindung sebagai kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup. Kawasan lindung juga berfungsi memberikan perlindungan terhadap daerah bawahannya sebagai pengatur tata air (fungsi hidroorologis) dan mencegah terjadinya banjir dan longsor. Mengingat sangat pentingnya fungsi kawasan lindung, maka pemerintah daerah harus dapat menjaga keberadaannya sebagai kawasan yang berfungsi publik dan di bawah pengendalian pemerintah. Perubahan peruntukkan kawasan lindung akan berakibat berkurangnya fungsi perlindungan dan berpotensi adanya ancaman bencana banjir dan longsor. Dengan demikian, perubahan kawasan lindung Punclut menjadi Hotel dan Villa adalah bertentangan dengan kepentingan umum (baca: masyarakat Cekungan Bandung).

Untuk mendukung fungsi perlindungan kota yang baik, Perda RTRW Kota Bandung Pasal 13 ayat (1) butir a menerangkan bahwa pengembangan kawasan lindung Kota Bandung adalah minimal sebesar 10% dari luas lahan kota. Tampaknya Walikota akan menemui kesulitan mewujudkan jumlah luasan tersebut karena yang terjadi justru hampir 100 Ha. luasan kawasan lindung di Punclut telah dirubah menjadi kawasan perumahan dan hotel melalui Perda Perubahan RTRW ini. Jumlah kawasan lindung yang dikonversi di Punclut tersebut setara dengan luas 200 buah SPBU. Bandingkan dengan upaya Walikota yang sangat membanggakan konversi hanya 2 buah SPBU menjadi Ruang Terbuka Hijau (RTH)..!!

Pengurangan luasan kawasan lindung di kota Bandung merupakan bukti bahwa masih ada kebijakan pemerintah lokal di Indonesia yang sangat anti-lingkungan. Bandingkan baru-baru ini dengan contoh perubahan Perda No. 10 tahun 1994 tentang RTRW Propinsi Riau dimana pemerintah lokal menaikkan jumlah luasan kawasan lindung sebesar 20% dari 1.947.654,89 Ha. menjadi 2.342.059,51 Ha. Perampokan kawasan lindung Kota Bandung ini merupakan preseden yang sangat buruk bagi penegakan good environment governance dan demokrasi lingkungan di Indonesia.

Dampak pembangunan Punclut tidak saja akan terasa di daerah bawahannya, tetapi juga akan menggangu Observatorium Bosscha yang terletak di daerah atasnya. Menurut Kepala Obsevatorium Bosscha, jika Punclut dibangun dipastikan pengaruh cahayanya akan berdampak serius terhadap fungsi Bosscha sebagai aset Nasional dan Warisan Ilmiah Dunia (World Scientific Herritage).

Perubahan RTRW Kota Bandung tidak sesuai dengan Peraturan yang lebih tinggi

Punclut adalah bagian dari KBU yang selama puluhan tahun telah dipertahankan oleh kebijakan dan peraturan-peraturan di tingkat propinsi dan nasional. Aturan-aturan yang telah dikeluarkan adalah sebagai berikut:
1. SK Gub Jabar No. 181.1/ SK.1624-Bapp/ 1982 tgl 5 November 1982 ttg Peruntukan Lahan di KBU, dimana pada lampirannya peruntukkan kawasan Punclut adalah 100% dilindungi.
2. Instruksi Gubernur KDH Tk. I Jabar No. 640/ SK.1625 Bapp/ 1982 tgl 5 November 1982 ttg Pemberian Ijin Pembangunan di KBU
3. Surat Gubernur KDH Tk. I Jawa Barat No. 593.82/ 1174-Bapp/ 1994 tgl 19 Maret 1994 ttg Permohonan Ijin Lokasi dan Pembebasan Tanah di KBU.
4. Surat Gubernur KDH Tk. I Jabar No. 593/ 1221/Bapp/ 1994 tgl 22 April 1994 ttg Pengendalian Penggunaan Lahan di KBU.
5. SK Gubernur KDH Tk. I Jawa Barat No. 660/ 4244/ Bappeda/ 1994 tgl 31 Oktober 1994 ttg Pengamanan Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara.
6. Surat Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN No. 470-380 tgl 7 Februari 1995 ttg Penertiban Tanah KBU
7. SK Gubernur KDH Tk. I Jawa Barat No. 912.05/ SK-1845-Bappeda/ 95 tgl 3 November 1995 ttg Tim Pengendali Pembangunan Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara.
8. SK Gub KDH Tk. I Jawa Barat No. 912/ 333-Bappeda/ 1996 tgl 31 Januari 1996 ttg Penanganan Kegiatan Pembangunan Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara.
9. SK Meneg LH/ Kepala Bapedal No. Kep. 35/ MenLH/ 12/ 1998 tgl 30 Desember 1998 ttg Persetujuan Amdal, RKL dan RPL Regional pembangunan KBU.
10. Surat Gubernur Nomor 912/424/Bappeda tanggal 10 Februari 2005 tentang Status Quo Kawasan Punclut.

Gonjang-ganjing rencana perubahan Perda RTRW Kota Bandung telah menimbulkan kekhawatiran dari pihak pemerintahan yang lebih tinggi ketika diminta evaluasinya oleh Walikota Bandung seperti di bawah ini :

a. Berdasarkan Surat Direktur Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum Nomor PR.01.08-DR/14 tanggal 3 Februari 2006 perihal Evaluasi Rancangan tentang Perubahan Perda RTRW Kota Bandung, yang pada intinya mengungkapkan bahwa “... Kawasan Bandung Utara (KBU) yang mempunyai fungsi utama sebagai kawasan lindung di Kawasan Cekungan Bandung, perlu dikendalikan perkembangannya agar fungsi tersebut tidak terganggu. Selain itu, bagian Kawasan Bandung Utara yang sudah berubah fungsi, secara bertahap perlu dikembalilkan sesuai fungsi semula”.
b. Berdasarkan Surat Gubernur Jawa Barat Nomor 188.342/710/Huk tanggal 6 Maret 2006 perihal Evaluasi Rancangan tentang Perubahan Perda RTRW Kota Bandung, yang mengungkapkan antara lain bahwa “... Secara substansi, rancangan Perda perubahan RTRW tersebut masih bersifat parsial, sehingga hanya akan mengatasi persoalan-persoalan yang bersifat lokal dan jangka pendek. Padahal implikasinya akan berdampak secara luas terhadap beberapa sistem kota, seperti sistem transportasi, tata air dan sistem sarana/prasarana permukiman dalam arti luas”.
c. Surat Gubernur di atas juga menegaskan bahwa “... Perubahan pengaturan disinsentif untuk membatasi pembangunan di Wilayah Bandung Utara sebagaimana pasal 100 ayat (2) dalam raperda, akan mengakibatkan timbulnya peluang untuk menerbitkan izin lokasi baru serta melunakkan pengaturan mengenai pembangunan jalan baru di Kawasan Punclut. Sedangkan pengaturan disinsentif seharusnya dikenakan untuk menghambat sekaligus lebih menjamin pengendalian pembangunan di Wilayah Bandung Utara, guna memberikan perhatian khusus sebagai kawasan yangn berfungsi memberikan perlindungan pada kawasan bawahannya (fungsi hidroorologis)”.
d. Selain itu, Perda perubahan RTRW Kota Bandung dinilai bertentangan dengan konsep Metropolitan Bandung yang sedang dibahas Pemerintah Propinsi Jawa Barat bersama 5 daerah lainnya. Hal ini sesuai dengan isi surat Gubernur Jawa Barat Nomor 186.342/220/Huk tanggal 20 Januari 2006, terutama poin 4 yang memandang bahwa Perubahan Perda tersebut harus dipertimbangkan kembali mengingat hal-hal sebagai berikut : “... Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 tahun 2003 tentang RTRW Provinsi Jawa Barat khususnya dalam pasal 50 ayat (3) yang menyatakan bahwa Metropolitan Bandung merupakan salah pusat kegiatan yang dikendalikan, artinya pusat kegiatan yang diarahkan perkembangan pembangunannya agar tumbuh sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungannya. Kawasan Bandung Utara merupakan bagian dari Wilayah Metropolitan Bandung yang perlu mendapat perhatian khusus karena fungsinya sebagai kawasan yang memberikan perlindungan pada kawasan bawahannya (fungsi hidroorologis)”.

Pernyataan Sikap

Berdasarkan uraian di atas, maka KMBB dengan tegas menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Menolak Perda Perubahan RTRW Kota Bandung karena telah merubah kawasan lindung Punclut-KBU menjadi kawasan budidaya yang pada gilirannya akan mengorbankan kepentingan umum masyarakat luas yang berada di daerah bawahannya yaitu masyarakat di Cekungan Bandung.
2. Mengajak Gubernur Jawa Barat untuk menggunakan kewenangannya dalam membatalkan Perda Perubahan RTRW Kota Bandung sesuai dengan UU No. 32 tahun 2004 pasal 186 ayat (5), dan memberlakukan Perda sebelumnya. Sikap Gubernur yang tidak tegas menunjukkan bahwa Gubernur tidak mempunyai kewibawaan di mata rakyat Jawa Barat dan diindikasikan menjadi bagian dari konspirasi perampokan kawasan lindung Punclut.
3. Mendesak kepada Pemerintah c/q Menteri Dalam Negeri untuk membuat Keputusan tentang pembatalan Perda Perubahan RTRW Kota Bandung karena bertentangan dengan Kepentingan Umum dan/atau Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan secepatnya merekomendasikan pembatalan tersebut kepada Presiden RI.
4. Meminta kepada Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono untuk SEGERA mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang pembatalan Perda Perubahan RTRW Kota Bandung sesuai mekanisme pembatalan perda yang tercantum pada UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 145 ayat (3).

Bandung, 27 Maret 2006

Penolakan Perda Perubahan RTRW Kota Bandung



Disusun oleh :

KOALISI MASYARAKAT BANDUNG BERMARTABAT
(KMBB)


Sekretariat :
Jl. Bengawan No. 82 BANDUNG, Telp. 022-7275574
______________________________________________________

WALHI Jabar, DPKLTS, BIGS, GALIB, GAPeLi, Keluarga Pencinta Punclut, Gerbong Bawah Tanah (GBT), SP-FKK PT DI, Lembaga Advokasi Pasar, IPPPAS, Lembaga Advokasi Pendidikan, KAMMI Bandung, FMN, HMR, AGRA, Green Life Society, YPBB, Konus, FK3I Jabar, Koppling, Bioregion, Pergerakan, Inisiatif, PSDK, Kolektif Hijau Merdeka, Komite Pembebasan Perempuan, YPAL.

Perbandingan Perda Kota Bandung No. 02 Th 2004 tentang RTRW Kota Bandung
dengan Perda tentang perubahan atas Perda Kota Bandung No. 02 Th 2004

Perda RTRW Bandung
Pasal 100
(2) disinsentif yang dikenakan untuk
menghambat pembangunan di wilayah
Bandung Utara adalah :
a. tidak dikeluarkan ijin lokasi baru;
b. tidak dibangun akses jalan baru melalui kawasan Punclut;
c. tidak dibangun jaringan prasarana baru kecuali prasarana vital Daerah. Pasal 100

Perda Revisi RTRW Bandung
(2) disinsentif yang dikenakan untuk menghambat
pembangunan di wilayah Bandung Utara adalah :
a. pengetatan perijinan dan penetapan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) rendah;
b. tidak dibangun akses jalan baru ke Kabupaten Bandung melalui kawasan Punclut;
c. tidak dibangun jaringan prasarana baru kecuali pelayanan lokal dan prasarana vital Daerah.


Overlay Foto Udara PUNCLUT + peta RTRW Kota Bandung + Site Plan PT DAM



______________________________________________________

KMBB mengundang semua elemen masyarakat khususnya di Kota Bandung baik itu LSM, gerakan Pro-Demokrasi, Akademisi, Mahasiswa, Pelajar, Ormas, Forum Warga, Budayawan, Seniman dan pihak-pihak yang peduli lingkungan untuk melayangkan surat versi masing-masing kepada Presiden SBY perihal permohonan pembatalan Perda Perubahan RTRW Kota Bandung melalui saluran-saluran yang ada yaitu PO Box 9949 Jkt, SMS ke 9949 dan website www.presidensby.com

Sabtu, Juli 05, 2008

Siapa yang Menentukan Kota Kita?

kota macam apa yang kita bangun
mimpi siapa yang ditanam
di benak rakyat
siapa yang merencanakan

lampu-lampu menyibak
jalan raya dilicinkan
di aspal oleh uang rakyat
motor-motor mulus meluncur
merek-merek iklan
di atap gedung
menyala
berjejer-jejer
toko roti
toko sepatu
berjejer-jejer
salon-salon kecantikan
siapa merencanakan nasib rakyat?


(Sajak Kota, Widji Thukul)
Utche Felagonna

Utche Felagonna

Puisi di atas seakan dapat dengan lengkap mewakili persolan perkotaan yang saat ini dialami oleh warga penghuni kota-kota di Indonesia. Kota adalah ruang-ruang etalase produk-produk dan semakin menjauhkan diri dari penghuninya. Kota tidak lagi mendekatkan diri, karena sebagian kecil penghuni mempunyai pengaruh besar untuk menjauhkannya. Bahkan jika lebih jauh menelisik, sebuah kota menjadi jauh dari warganya, karena kebijakan-kebijakan tata kota dan pengelolaan kota tidak lagi berasal dari warga. Ironisnya, dalam kerangkeng kekuasaan modal, kota menjadi jauh karena kebijakan mengenai sebuah kota adalah pesanan pemilik modal, donor bantuan asing pun sebuah idealisme investasi yang jauh dari akar-akar budaya sebuah kota.

Persoalan perkembangan kota adalah sebuah persoalan kompleks. Melibatkan studi multidisiplin dan membutuhkan pendekatan multidimensi. Kota modern membutuhkan perencanaan dan pengelolaan yang berusaha mendekatkan jarak antara sains dan teknologi dengan prinsip-prinsip budaya dan kearifan manusia. Prinsip-prinsip budaya dan kearifan tersebut bukan lagi semata-mata mengutamakan kepentingan sebagian kecil masyarakat penghuni kota, melainkan sejauh mungkin mengakomodasi kebutuhan dan keinginan semua pihak.

Sebab itu, Forum Kajian Kota mengadakan diskusi dengan tema Membaca Permasalahan Kota Bandung, Jumat, 13 Juni 2008 di Selasar Planologi Institut Teknologi Bandung. Diskusi ini menghadirkan Heififah Sjaifudian, Ketua Alumni Planologi ITB, Taufan Suranto seorang envirozer dan Rahmad Jabaril, koordinator KMBB (Komunitas Masyarakat Bandung Bermartabat).

Heififah menguraikan pendekatan ilmiah mengenai kota secara planologi. Kota dapat kita gali maknanya melalui penggunaan metafora-metafora. Bisa dilihat sebagai sebuah mesin yang terus berputar dan bergerak dalam aksi dan reaksinya. Pun juga bisa dilihat selayaknya organisme hidup yang dalam kehidupannya membutuhkan keseimbangan dan kelayakan untuk tetap ‘hidup’ dan menghidupi. Warga yang hidup dalam sebuah kota, dapat dilihat selayaknya darah yang mengaliri pembuluh-pembuluh yang semakin sempit dalam sebuah kota yang terus berkembang. Darah selalu bersifat menekan selama jantung kehidupan terus berdetak, pembuluh yang semakin sempit tidak dapat selamanya menahan tekanan dari aktivitas darah yang dinamis. Kota yang sakit, bukan berasal dari tekanan ‘warga penghuni kota’ melainkan karena tidak adanya sinergisitas antara tekanan dan ketersediaan kota dalam menampung warga. Karenanya sebuah perencanaan dan pengelolaan kota menuju sebuah kota yang sehat sangat dibutuhkan.

Kota dapat dikaji dengan menggunakan data. Data-data numerikal berupa catatan statistik, data-data visual berupa foto dan peta, data-data aural berupa apa yang kita dengar mengenai sebuah kota dan data-data tertulis berupa laporan-laporan mengenai perkembangan dan pertumbuhan sebuah kota.

Pengkajian mengenai sebuah kota melalui penggunaan data-data ini merupakan salah satu bentuk pendekatan sains dan teknologi dalam upaya memahami sebuah kota. Sebuah kota yang dapat menyediakan basis data yang lengkap mengenai perkembangan kota, akan memudahkan perencanaan dan pengelolaan kota selanjutnya. Jika data-data tersebut dapat secara mudah diakses oleh warga kota, maka fungsi-fungsi kontrol dan mekanisme perencanaan tidak lagi menjadi hak istimewa birokrasi. Apalagi jika ditambah dengan betapa tidak maksimalnya informasi yang dapat diberikan oleh media, sehubungan dengan relasi kekuasaan dalam media massa.

Bandung, adalah sebuah kota yang terus berkembang pesat dan bertambah padat. Meningkatnya laju kedatangan seiring dengan mudahnya akses transportasi, menyebabkan Bandung menjadi kota pelesir dari warga kota lain. Sementara itu, kompleksitas persoalan tata ruang kota di Bandung sendiri masih belum banyak terselesaikan oleh birokrasi yang ada. Dapat dikatakan Bandung adalah sebuah kota yang sakit. Sakit yang menuju kronis dan akut, sehingga membutuhkan perencanaan dan pengelolaan yang berbasis komunitas atau berasal dari kebutuhan dan keinginan warga kota itu sendiri.

Menurut Heififah Syaefudin, prinsip perencanaan Bandung Genah bertujuan untuk menjadikan Bandung sebagai kota yang lebih sehat. Hal tersebut dapat dicapai dengan mengurangi ketergantungan warga kota akan kendaraan bermotor. Ruang bagi transportasi alternatif harus dibuka seiring juga dengan adanya fasilitas pedestrian yang memadai dan nyaman. Jika selama ini, perkembangan perumahan lebih banyak berorientasi pada kelas menengah ke atas, maka perlu dikembangkan perumahan berbasis komunitas yang dapat menampung warga-warga marjinal. Perumahan berbasis komunitas ini bersifat non-profit dan disubsidi oleh pemerintah kota, dengan tujuan untuk mempermudah persinggahan kaum urban yang mencari penghidupan di kota bandung dari kota-kota lain.

Bagi Heififah, perencanaan dan pengelolaan kota dengan berbasis komunitas ini dapat dimulai dengan memberi kesempatan kepada komunitas-komunitas lokal di tingkat rukun tetangga dan rukun warga untuk memutuskan pengelolaan lingkungannya secara demokratis.

Taufan Suranto, lebih mengedepankan sebuah kasus yang belum terselesaikan di kota Bandung. Kasus pengelolaan dan perencanaan daerah Punclut yang berada di kawasan Bandung Utara. Pendekatan berprespektif lingkungan ini melihat kasus Punclut sebagai sebuah bentuk perampasan hak-hak lingkungan hidup bagi warga kota Bandung. Keterlibatan beberapa pihak dalam kasus punclut ini, sangat berkaitan dengan kepentingan ekonomi, bisnis dan politis. Tragisnya, jika pendekatan sains dan teknologi pada satu sisi dapat mempermudah dan memberikan solusi penataan kota yang lebih menuju sehat, pada sisi lain dapat juga berkhianat, dengan memberikan legitimasi-legitimasi ilmiah untuk menutupi sisi gelap pembangunan itu sendiri.

Kawasan Punclut terletak di ketinggian 700 meter dpl, yang menurut SK No 181/1982 termasuk daerah Kawasan Bandung Utara, dengan prinsip tidak memberikan ijin lokasi bagi pembangunan di daerah tersebut, sebagai kawasan konservasi. Pada 1994, terbit surat keputusan walikota yang memberikan ijin prinsip dan lokasi pengembangan bagi PT DUSP. Hingga kini hal tersebut menjadi persoalan. Lebih ruwet, saat terbit surat keputusan pembatalan penyerahan sertifikasi tanah bagi 943 warga sesuai dengan surat keputusan menteri agraria 1980. Advokasi terhadap kasus pengembangan di kawasan Punclut ini telah dimulai sejak tahun 2004. Indikasinya,ada manipulasi peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung. Peta yang seharusnya menetapkan kawasan punclut sebagai kawasan konservasi, dalam lampirannya ternyata memuat bagian-bagian wilayah yang diperuntukan bagi pengembangan perumahan.

Kasus Punclut, dapat dijadikan contoh bagaimana kekuasaan secara sepihak menetapkan peraturan-peraturan lalu mengubah peraturan yang ada sesuai dengan kepentingan kekuasaan. Hal ini terlihat pada perubahan pasal 100 Peraturan daerah No. 2 Kota Bandung.

Menurut Taufan, jika kekuasaan selama ini mendekati rakyat dengan; intervensi, iming-iming dan intimidasi maka perjuangan untuk menyelamatkan lingkungan dapat menggunakan; otak, omong dan otot.

Rahmad Jabaril mengemukakan, dalam berberapa kasus, perencanaan dan pengelolaan kota tidak lagi memperhitungkan aturan-aturan yang telah disepakati, seperti peraturan daerah dan undang-undang yang sudah ada. Sebuah peraturan kadangkala bertumpang tindih dengan peraturan lain yang dibuat kemudian.

Kecenderungan warga kota yang terpelajar seperti mahasiswa, yang kurang kritis dengan realitas sosial kota, dilihat oleh Jabaril sebagai akumulasi dari berbagai faktor. Kuliah yang padat, dan intervensi media yang tidak membuka ruang jeda bagi perenungan. Ditambah dengan intervensi dari kekuasaan kampus yang tidak banyak membuka ruang yang dapat mengakomodasi gejolak kekritisan mahasiswa. Di sisi lain, pihak-pihak kampus seringkali membuat kesepakatan-kesepakatan dengan aparatus atau institusi kekuasaan berkaitan dengan aplikasi-aplikasi saintifik bagi kebijakan yang tidak bersahabat dengan kota dan lingkungan. Sehingga resam yang nyata tampak adalah, bagaimana selama ini kekuasaan melegitimasi pembangunan tanpa melibatkan warga.

Aksi langsung warga dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif pemecahan masalah. Bukan dalam pengertian yang negatif, karena dalam banyak contoh saat kekuasaan tidak dapat memberikan solusi pengaturan yang komprehensif, warga secara mandiri mengatur dirinya sendiri. Dengan sendirinya, secara de facto warga telah mengambil sedikit bagian dari kekuasaan tanpa kekerasan. Sebuah contoh yang menarik adalah bagaimana warga dan para pedagang pasar kaget di Lapangan Gasibu membuat kesepakatan-kesepakatan mandiri mengenai pengelolaan lingkungan dan lokasi, saat pengaturan-pengaturan dari birokrasi dirasakan tidak memberikan solusi yang adil. Hukum setidaknya dapat dimulai dari sebuah kontrak sosial yang berangkat inisiasi-inisiasi kecil dari komunitas-komunitas warga. Inisiasi yang berangkat dari kesadaran warga akan pentingnya penataan, perencanaan dan pengelolaan kota yang memuat aspek-aspek keberlanjutan berbasis lingkungan.[end]

Utche Felagonna, tim kerja Mediabersama.com

Sumber: http://mediabersama.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1923:siapa-yang-menentukan-kota-kita-&catid=932&Itemid=266