PROBLEM PEMBANGUNAN TANPA PARTISIPASI MASYARAKAT
RAHMAT JABARIL
Koalisi Masyarakat Bandung Bermartabat (KMBB)
Jln. Dago Pojok 45/161, Coblong, Bandung. 40135
surattaboo@yahoo.com
Abstrak
Mempermasalahkan persoalan kota Bandung dewasa ini, tak lain adalah kita dihadapkan pada situasi tata kelola yang ’semberaut’. Hal ini bisa dirasakan dengan kepadatan penduduk 2.795.649 jiwa dari luas kota Bandung 16.729 hektar. Pengelolaan kota yang tidak beranjak dari tradisi partisipatif, tentu akan menciptakan sebuah kota bermasalah. Persoalan itu kita bisa lihat pada persoalan RTRW no 2, 2004 menjadi PERDA RTRW no 3, 2005. Subtansi dari revisi PERDA tersebut berkaitan dengan pengelolaan tata ruang di wilayah Punclut (Bandung Utara), dengan alasan bahwa kawasan Punclut harus dibuatkan akses jalan. Sementara kawasan Punclut tersebut merupakan kawasan hijau sebagai filter udara kota Bandung. Kenyataan ini adalah kenyataan yang dilanggar juga misalnya, dalam proses pembangunan pemukiman. 20 % merupakan sesuatu yang harus dalam hal ini perumahan, dan 80 % penghijauan, dengan konsentrasi titik awal harus membangun penghijauan terlebih dahulu. Tetapi yang terjadi adalah bahwa penghijauan bukan merupakan hal yang utama, termasuk dengan pendirian sekolah Internasional (International School) di kawasan Bandung Utara yang tidak memiliki amdal terlebih dahulu. Juga keamanan kawasan Observatorium Bosscha sebagai pusat penelitian dan kajian Ilmu Pengetahuan, yang terancam keberadaannya karena semakin padat hunian, polusi, silauan lampu-lampu dan getaran tanah. Pelanggaran-pelanggaran ini dilakukan pihak pengembang tanpa mempertimbangkan berbagai aturan yang telah ditentukan, yang tujuan semula adalah demi penyelamatan kawasan Bandung Utara sebagai filter kota Bandung dan keamanan alam kotanya.
Keywords: tata kota, partisipatif, perda, kepadatan, lingkungan.
Pendahuluan.
Gejolak reformasi yang mendorong kekuatan sipil melengserkan Soeharto sebagai pemimpin tunggal tak terhindarkan lagi, 21 Mei 1998 pemimpin orde baru itu harus lengser dari kursi empuknya selama 32 tahun. Pergeseran itu membawa dunia perpolitikan Indonesia berubah, manakala presiden Habibie sebagai pengganti Soeharto membuka ’keran’ demokrasi seluas-luasnya tanpa ada sebuah filter politik demokrasi supra struktur. Maka tidaklah heran jika kekuatan orde baru merubah sistem ketahanannya dengan mendirikan partai-partai baru. Para pelaku di pemerintahan orde baru tak segan-segan mengatasnamakan demokrasi,’bercokol’ kembali di pemerintahan dewasa ini baik di tingkat pusat maupun daerah. Kelangsngan era reformasi yang masih dibayang-bayangi oleh anasir orde baru, membuat gerakan reformasi tersendat-sendat, terengah-engah, tak sesuai yang diharapkan oleh gerakan reformasi sebelum lengsernya Soeharto. Semangat reformasi kala itu memang mendorong mundurnya Soeharto dari jabatan presiden sebagai pusat kekuasaan yang sentralistik. Hingga terbentuknya desentralisasi bahwa kekuasaan berarti seharusnya terciptanya keadilan yang berkelanjutan di masyarakat yang selama pemerintahan orde baru ’dikebiri’.
Debat alot dari salah satu aspek reformasi yang mendapat perhatian publik dan pemerhati politik adalah persoalan kebijakan otonomi daerah terkait pada U.U. no.5 tahun 1974 yang titik beratnya pada otonomi daerah tingkat II (kotamadya dan kabupaten). Kebijakan desentralisasi ini akhirnya mengeluarkan U.U. no.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, dan U.U.no 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat – daerah. Hal ini telah membawa cukup berarti pada hubungan pusat dan daerah. Namun kita bisa lihat meskipun munculnya U.U. No 22/1999 dikatakan lebih berarti dibandingkan U.U. no 5/1974, tetap pada hakekatnya dasar dari otonomi daerah itu hanya menyambut ’batu’ kekuatan kekuasaan di pemerintahan daerah, tidak pada penciptaan kekuatan di masyarakat lokal. Hal tersebut bisa dirasakan pada proses kekuasaan pada pemerintahan kota Bandung periode 2003 – 2008. Manakala kebijakan peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) no. 2 tahun 2004 direvisi 2005 – 2006. Sedang dalam proses revisi tersebut perlu ada pengkajian ulang terkait dengan subtansi peraturan daerah tersebut pada pasal 100 dari Perda RTRW no.3/2006. Tinjauan itu seharusnya berdasarkan partisipasi kewargaan kota terkait dampak lingkungan dari legitimasi untuk proyek pembangunan di kawasan Punclut (Kawasan Bandung Utara).
Perubahan tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di kawasan Punclut, adalah perubahan yang patut dikaji ulang keberadaannya, sebab perubahan tersebut, bisa melihat ulang perannya penafsiran pada UU otonomi daerah yang ditangkap menjadi ’ruang-ruang raja kecil’ di daerah; pengeksploitasian atas nama UU otonomi daerah. Karenanya perubahan RTRW di kawasan Punclut menjadi bermasalah sampai saat ini. Problem permasalahan perubahan itu karena peran partisipasi holistik ideal masyarakat tidak diciptakan. Artinya peran serta masyarakat dalam proses penciptaan perubahan tidak dibangun adanya proses dialog detail antara masyarakat lokal, para ahli dan pemerintah itu sendiri.
Pengujian publik atas nama demokrasi untuk perubahan peraturan daerah (perda) adalah hal yang mutlak harus dilakukan oleh pemerintahan di daerah jika semangat reformasi itu terus dihidupkan dalam bernegara. Pengujian publik yang melibat para ahli yang kompeten dan masyarakat lokal atas potensi daaerah yang akan dibangun merupakan yang sepatutnya dilakukan semua pihak, termasuk pemerintah yang berwenang. Perubahan regulasi yang dilakukan pemkot Bandung pada perda RTRW no 2/2004 pada gilirannya menuai masalah, baik di tingkat horizontal (masyarakat) maupun ancaman bagi kerusakan lingkungan yang berdampak pada masyarakat kota Bandung secara umum, karena persoalan filter udara dan air tanah. Begitupun hal ini menjadi ancaman bagi keselamatan Bosscha sebagai pembelajaran ilmu Astronomi, dimana polusi getaran, debu dan cahaya, akan lebih mengganggu saat pengamatan bintang-bintang. Karena dengan dibangunnya kawasan Punclut, tidak menutup kemungkinan pembangunan akan terus mendekati wilayah kawasan Bosscha, yang aturannya dua kilometer jarak pembangunan berada di wilayahnya.
Kepelikan Punclut Dalam Proses Pembangunan
Jika kita membaca sejarah kota Bandung, pasti berhubungan dengan persoalan ekologi, selain masyarakatnya yang ramah dan kreatif, sekaligus terbuka menerima kedatangan warga dari luar daerah. Namun pada perkembangannya, luas kota Bandung, setahap demi setahap menjadi semakin luas, pada tahun 1825, luasnya kurang lebih hanya 400 hektar, tahun 1906 bertambah menjadi 900 hektar, tahun 1911 menjadi 2.150 hektar, tahun 1921 menjadi 2.853 hektar, tahun 1942 menjadi 3.305 hektar, tahun 1949 menjadi 8.098 hektar, terakhir 1985 hingga sekarang bertambah luas menjadi kurang lebih 16.730 hektar. Begitupun dengan jumlah penduduknya dari tahun ke tahun semakin bertambah. Pada tahun 1811 sebanyak 1.800 jiwa, tahun 1864 menjadi 11.052 jiwa, tahun 1906 menjadi 38.403 jiwa, tahun 1911 menjadi 47.980 jiwa, tahun 1916 menjadi 70.000 jiwa, tahun 1921 menjadi 114.311 jiwa, tahun 1926 menjadi 140.181 jiwa, tahun 1930 menjadi 166.800 jiwa. Tahun 1940 menjadi 299.918 jiwa, tahun 1945 menjadi 433.281 jiwa, tahun 1950 menjadi 644.475 jiwa, tahun 1961 menjadi 972.566 jiwa, tahun 1971 menjadi 1.201.750 jiwa, tahun 1980 menjadi 1.464.966 jiwa, tahun 1985 menjadi 1.635.135 jiwa, tahun 1986 menjadi 1.660.374 jiwa, tahun 1990 menjadi 1.739.878 jiwa, tahun 2000 menjadi 2.136.260 jiwa. Tahun 2006 ada yang mengatakan penduduk kota Bandung mejadi 2.795.649 jiwa. Bahkan menurut prediksi Erla Zwingle dari National Geographic (2000), penduduk kota Bandung akan mencapai 5,3 juta jiwa pada tahun 2015.
Bertambahnya penduduk tak terhindarkan, pembangunan terus juga berkembang. Hal ini tak bisa dipungkiri, seperti halnya kita bisa melihat kota Bandung semakin terancam kesinambungan kehidupannya. Kawasan Bandung Utara (KBU) sebagai kawasan lindung kota Bandung semakin terdegradasi lingkungan hidupnya. KBU yang terletak lebih tinggi dari kota Bandung, sangat strategis sebagai benteng lingkungan kota Bandung. Seperti halnya Punclut, merupakan sebidang lahan di kawasan Bandung utara seluas 268 hektar di wilayah administrasi kota Bandung yang berdekatan langsung pada bibir kota, sebagai filter utama dari udara kota. Kini dikuasai oleh beberapa pengusaha pengembang dan dihuni pemilik dan penggarap lahan (lebih kurang 2.419 k.k). P.T. Dam Utama Sakti menguasai lahan Punclut seluas 248 hektar (meliputi 68 hektar di wilayah kota Bandung dan 80 hektar di kabupaten Bandung). P.T. Mullia Sejati, 205 hektar dan P.T. Trigana 0,9 hektar. Penataan di kawasan ini menjadi sangat penting, karena akan menjadi entry point bagi penataan kawasan Bandung Utara secara keseluruhan.
Kawasan Punclut dilalui oleh sungai Cisungapan, Cipicung, Gintung, Sekojolang dan Cikapundung. Sekarang kondisinya sangat mengkhawatirkan, oleh karena itu keberadaan Punclut sebagai kawasan lindung sangatlah unik dan tidak tergantikan. Kota Bandung dengan topografi cekungan, sensitif, padat penduduk dan sumber daya terbatas, memerlukan fungsi lindung dari kawasan Punclut dan tidak ada penggantinya. Namun pada perkembangannya penataan di kawasan itu membuat ’jengah’ para pemerhati lingkungan, sebab kawasan yang sepatutnya dihijaukan malah dibangun bahkan dibuatkan aturannya oleh pemerintahan kota dengan merevisi perda RTRW no.2/2004 menjadi perda RTRW no. 3/2006. Sementara pada aturan baru itu diatur 20% perumahan dan 80% penghijauan, namun pada kenyataannya pihak pengembang membangun berdasarkan anggapan kepentingan. Bahkan pada prosesnya seharusnya dihijaukan terlebih dahulu, dan kenyataannya tidak diperhatikan oleh pihak pengembang. Pada perkembangan berikutnya pihak pengembang membangun Singapore International School tanpa dibuat terlebih dahulu amdalnya. Namun pemkot kota Bandung tidak memperhatikan proses di lapangan. Kenyataan itu membuat warga kota yang tergabung dalam organisasi Koalisi Masyarakat Bandung Bermartabat (KMBB) mempertanyakan proses regulasi yang dibuat pemkot Bandung. Bahkan mem-PTUN kan atas revisi perda RTRW no.3 tahun 2006 tersebut.
Kekicruhan pada proses pembangunan di kawasan Punclut, pihak pengembang dan pemerintah kota Bandung ’membujuk’ warga setempat bekerja sama mendukung proyek tersebut dengan aksi-aksi dukungan, sebagai sebagai aksi tandingan pada pihak yang tidak setuju atas proyek tersebut. Alasan mereka mendukung pembangunan karena pemerintah kota dan pengembang menjanjikan akan dibuat akses jalan, serta sarana-sarana publik lainnya seperti, sekolah dan rumah sakit. Berbagai wacana tumbuh, baik dari pihak penolak maupun pendukung. Pada berikutnya, maka tidaklah heran muncul sebuah ketegangan di ranah sosial, berdampak tidak adanya kepercayaan antara sesama penduduk, juga di kalangan para akademisi yang terlibat di persoalan itu. Seperti halnya kelompok pemerhati lungkungan dan institusi Astronomi Bosscha sebagai sarana pembelajaran Ilmu pengetahuan di bidang Astronomi. Alasan pusat pendidikan Astonomi , karena dengan banyaknya pembangunan di kawasan Punclut dan Bandung Utara pada umumnya akan berdampak negatif pada proses pengamatan. Hal ini diakibatkan karena, polusi getaran, debu dan cahaya lampu. Maka diatur dua kilo dari kawasan Bosscha tidak boleh ada pembangunan.
Observatorium Bosscha
Observatorium Bosscha didirikan di Lembang, Bandung, Jawa Barat. Alasan pemilihan tersebut karenanya, Lembang merupakan tempat atau wilayah yang sangat Kondusif untuk penelitian Astronomi ditinjau dari berbagai sisi, baik dari sisi kependudukan, geologi, ekologi maupun meteorologi. Dari kependudukan, kota Lembang masih dapat dikatakan ’cukup sepi’ pengguni, sehingga tidak banyak penerangan yang mengganggu proses pengamatan. Pada situasi cerah di malam hari, langit akan gelap, sehingga cahaya bintang akan terlihat dengan jelas. Gelapnya langit sangat menguntungkan bagi para Astronom, karena akan menghasilkan proses penelitian yang lebih akurat dari hasil pengamatan. Pada wilayah Geologi, Lembang bisa dikatakan sangat stabil, sehingga pemasangan alat-alat berat untuk pengamatan bisa dipermanenkan karena tidak akan berubah orientasi manakala diakibatkan adanya gerakan-gerakan tektonik atau getaran-getaran lainnya. Begitupun pada keberadaan ekologi, Lembang bisa dikatakan sebagai kawasan hijau tentu sangat menguntungkan bagi keberadaan Bosscha. Sebagai ruang pengamatan secara meteorologi atau ilmu iklim dan cuaca, Lembang memiliki cuaca yang stabil, 70% cerah dalam setahun. Kelembaban tidak terlalu tinggi dan hembusan angin tidak terlalu kencang.
Pada tahun 1923 Observatorium Bosscha resmi dibuka, Voete-lah yang kemudian menjadi direktur pertama, pada saat itulah teropong Zeiss, besar 24” dimiliki oleh Observatorium Bosscha, merupakan teropong ketiga terbesar di belahan bumi bagian selatan, setelah teropong observasi di Afrika Selatan dan Australia. Observatotium didirikan di berbagai belahan dunia untuk mendekatkan mata kita dengan luasnya angkasa luar. Indonesia memiliki observatorium, salah satu dari sedikit observatorium yang ada di belahan bumi bagian selatan. Saat dunia mencoba melengkapi peta Bintang, zona langit sekitar 70 lintang selatan di samudra Hindia menjadi wilayah yang hanya teramati di observatorium Bosscha, karenanya observatorium tersebut dilengkapi dengan peralatan peneropongan selain Zeiss, yakni Schmidt, GOTO, Bamberg dan Unitron .
Namun fonomena kekinian mulai mengancam keberlangsungan observatorium Bosscha. KBU secara ekologis merupakan kawasan konservasi, pada awal 1980 pembangunan di KBU, tidak sesuai lagi dengan peraturan yang menjadi ketentuan mutlak kebijakan tata ruang. Karenanya dampak dari pembangunan yang terus menerus membuat peneropongan bintang tersebut mulai terganggu. Bahkan munculnya isue mulai akan ada penggusuran observatorium, dan dibangunnya hotel-hotel serta mall-mall, yang tentunya akan menjadi tidak baik dan menggeserkan makna kota cekungan yang berbasis ilmu pengetahuan dan ramah budaya. Bahkan pada perkembangannya, pemerintah Daerah Tingkat Satu Jawa Barat telah mengeluarkan perda perlindungan pada KBU, termasuk di dalamnya masalah Observatorium Bosscha. Namun aturan tersebut tidak begitu begitu diperhatikan pihak pengembang dan pemerintahan di tingkat kotamadya dan kabupaten.
Bukti tidak ada perhatian dari pemerintahan di tingkat kotamadya dan kabupaten, yaitu dengan resistensi mereka pada pasal 21-22 tentang perijinan lokasi yang akan dibangun dari perda no.10 tahun 2007 tentang perlindungan KBU. Dengan alasan sebagai pengembangan pendapatan ekonomi daerah. Namun alasan tersebut tidak memperhatikan kepentingan makro dari masyarakat cekungan Bandung. Dimana di dalamnya kepentingan penyelamatan cagar Budaya dan sarana Ilmu pengetahuan di bidang pengamatan bintang (Observatorium Bosscha), sebagai salah satu aset kebanggaan bangsa Indonesia dan warga Bandung khususnya. Subtansi dari perda perlindungan KBU no.10 tahun 2007 itu berada pada pasal 21-22 tentang setiap proses perencanaan pembangunan di tingkat daerah baik kotamadya/kabupaten harusa dikoordinasi terlebih dahulu pada pemerintahan di atasnya dalam hal ini, propinsi Ja wa Barat. Maka itulah pemerintah kota maupun kabupaten, serta kota Cimahi, atas nama UU otonomi daerah no 22 tahun 1999, bahwa pemerintah daerah kota dan kabupaten mempunyai hak untuk hidup berkelanjutan pada pemerintahannya.
Pentingnya Partisipasi Masyarakat Pada Pembangunan Daerah
Semangat pembangunan daerah dewasa ini, tak lain adalah bisa bisa mengeruk keuntungan lima tahunan bagi pengusaha daerah. Hal ini bisa terjadi di tingkat kotamadya dan kabupaten, bahkan pemerintahan di bawahnya. Mereka cenderung menangkap UU otonomi daerah itu sebagai peluang menciptakan kekuasaan dimana peranannya dianggap penting. Untuk pencapaian kenikmatan kekuasaannya, tak heran jika pengejawantahan hasratnya dibuat payung hukum atas nama peraturan daerah (perda) dan peraturan wilayah (perwal). Pada itulah pemerintah daerah memainkan perannya atas nama kekuasaan daerah. Atas semangat itulah, maka tak heran proses regulasi yang dibuatnya penuh dengan berbagai manipulasi atas nama demokrasi kewargaan. Inilah sebuah cara untuk kelangsungan kekuasaannya. Demokrasi semacam itu adalah demokrasi ’simularka’, dimana aturan mainnya menggunakan model kooperasi antara lembaga formal atas nama rakyat, pengusaha, dan ’stickholder’ yang dibuatnya sangat paradoks, seperti yang dikatakan Herr Duhring, dengan demikian membelah masyarakat menjadi unsur-unsurnya yang paling sederhana, dan dengan berbuat begitu, menemukan bahwa masyarakat paling sederhana terdiri atas sekurang-kurangnya dua orang. Dengan kedua orang ini dia mulai beroperasi secara aksiomatik. Dan begitulah aksioma moral dasar dengan sendirinya (dalam Frederick Engels. 2005: 130).
Kepercayaan pada potensi manusia yang berada kedudukannya atas nama masyarakat, merupakan hal yang patut dilihat dan direduksi kebenarannya untuk proses pembangunan. Karenanya dimana proses-proses berskala kecil dan fenomena-fenomena yang muncul pada level individual menjadi titik pusat pencarian ilmiah dan dipandang sebagai tingkat dasar dalam analisis sosial. Individu, interaksi antar individu dan kelompok-kelompok kecil membentuk masyarakat. Masyarakat merupakan penjumlahan dari sejumlah proses di dalam dan di antara individu-individu dan bukan merupakan sejumlah struktur besar (grand structure) (Robert Mirsel. 2004: 29). Maka konsepsi pembangunan seharusnya mengacu pada detail dari arti sejumlah proses pembentukan masyarakat itu sendiri.
Pada pembentukan masyarakat, tidak sesederhana muncul begitu saja, namun di dalamnya ada proses pembentukan sejarah. Hal ini sebagai salah satu potensi yang patut dilihat tanpa harus ditutup-tutupi manakala, perencanaan tata ruang wilayah mengubah artefak sebagai salah satu aset sejarah. Mencoba membayangkan seperti apakah kiranya hidup sehari-hari dalam masyarakat, jika tak ada seorangpun yang tahu tentang sejarah. Imajinasi macet, sebab hanya melalui pengetahuan tentang sejarah dirinyalah, suatu masyarakat bisa memiliki pengetahuan tentang dirinya sendiri. Sebab manusia tanpa memori dan pengetahuan diri, adalah manusia yang mengambang, demikian pula suatu masyarakat tanpa memori (atau lebih tepatnya, tanpa kemampuan mengingat) dan pengetahuan diri akan menjadi masyarakat yang mengambang (Stuart Sim. 2002: 1-2). Maka itulah kiranya yang menjadi perdebatan publik terkait dengan proyek pembangunan di kawasan Punclut. Proyek itu dilegitimasi oleh peraturan daerah, yang sebelumnya telah dilakukan pengurugan oleh pengembang sebelum perda yang mengatur penataan di kawasan Punclut itu direvisi. Maka begitu jelas penutupan sejarah telah terjadi, tanpa memperhitungkan kelangsungan hidup masyarakatnya yang berkelanjutan.
Partisipasi Semu
’Viva La Muerte’, adalah semboyan dari sebuah semangat untuk menghancurkan segala sesuatu yang hidup menjadi benda mati, ingin menghancurkan apa saja dan siapa saja, bahkan diri mereka sendiri (M. Fadjroel Rachman. 2007: 190). Kesadaran utuh individu sebagai manusia yang tidak lepas dari kodratnya sebagai mahkluk sosial, merupakan hal yang harus dielaborasikan baik oleh individu maupun oleh organisasi manusia itu sendiri, yaitu negara. Kesatuan utuh individu dalam kehidupan sosial tentu tak semudah apa yang kita bayangkan, karena peran pemerintah sebagai organisasi manusia harus mampu memberikan saluran yang demokratis partisipatif. Namun pada perkembangannya ketika alur ’kran’ demokrasi dibuka. Tak heran juga karena kesadaran untuk menghidupkan kehidupan manusia di tingkat lokal tidak ada. Maka kekuasaan yang berbasis otonomi daerah, merupakan kelanjutan kekuasaan di jaman orde baru.
Penciptaan partisipasi atas nama demokrasi dari amanat perjuangan reformasi semata hanyalah teks saja, sebagai ruang demokrasi semu, karena peran teks tersebut sebagai alat untuk menutup mata dari kesadaran utuh dari individu dan ruang lingkup di ranah sosial. Secara kuantitatif, proses partisipatif memang jauh lebih sering dilakukan, beberapa pengalaman kasus-kasus menunjukkan kualitas yang sangat tinggi, tapi keberhasilan masih sangat tergantung pada interest personal, bukan karena adanya perubahan sistem dan insentif. Masyarakat diinformasikan dan dikonsultasikan tetapi umumnya masih tidak terlibat dalam pengambilan keputusan (Hetifah SJ. Sumarto. 2004: 111). Pada itulah kita bisa melihat peran partisipasi yang diciptakan untuk kepentingan proyek pembangunan di kawasan Punclut dan wilayah KBU pada umumnya. Peran masyarakat untuk mendukung proyek pembangunan sangat penting untuk mendorong regulasi yang dikeluarkan pemerintahan kota Bandung. Karenanya pe-rekayasa-an pembentukan partisipasi begitu saja terjadi, dan partisipasi macam ini adalah partisipasi semu. Detail dan ruang individu dan ruang sosial di tingkat lokal tak menjadi spektrum atau menjadi sebuah slogan persoalan yang sepatutnya dibangun.
Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) kejahatan perang maupun perkosaan yang bukan sekedar pelampiasan hasrat seksual, tetapi dijadikan alat untuk kepentingan politik tertentu (M. Fadjroel Rachman. 2007: 190). Proses anti kemanusiaan semacam itu merupakan kejahatan yang tidak bisa ditolerir, sebab kejahatan yang diciptakan untuk kepentingan politik kekuasaan, merupakan kejahatan struktural yang dilegitimasi atas nama negara. Jika pada gilirannya semacam kejahatan struktural, maka tak terjaminnya kesejahteraan dan akan terciptanya rasa ketidak-adilan dan kemiskinan yang holistik. Kemiskinan yang berdampak ketegangan sosial di masyarakat. Orientasi ini merupakan gerakan kemasyarakatan semakin kritis-diri, dan ini merupakan cikal bakal kelemahan posisi makna masyarakat. Golongan partisipasi ideal tentu tak menjadi hal yang ideal buat seorang pemimpin, yang cukup sadar bahwa kekuasaannya tidak diperoleh dengan pendelegasian tapi diambil dengan kekerasan, juga tahu bahwa kekuasaannya didasarkan pada kelemahan massa, yang begitu lemah sehingga membutuhkan dan layak mendapatkan seorang ”yang mendominasi” (Umberto Eco. 2002:115).
Kultur Lokal Yang Dieksploitasi
Gerakan-gerakan kemasyarakatan pada periode ini juga dipengaruhi oleh aliran-aliran pemikiran dan paradigma-paradigma kekuatan lokal sebagai basis pertahanan daerah yang eksploitatif. Misalnya penggunaan gaya (passion) dan gestur yang kadang-kadang menyeramkan, menunjukkan identitas yang tidak bisa dikalahkan. Namun keberadaan itu semua, bukannya sebagai kekuatan lokal yang sebenarnya, namun sebagai media politik kekuasaan yang menentukan siapa yang berwenang dalam menentukan proses pemerintahannya. Hal itu bisa dilihat banyak peristiwa pada akhir 1998-an hingga saat ini, bermunculan gerakan-gerakan baru. Gerakan-gerakan baru ini tidak bisa dilihat sebagai gerakan yang mengarah kepada perkembangan maju menuju masyarakat yang inklusif, egaliter dan demokratis. Menurut Robert Mirsel (2004:18), bahkan gerakan ini menghilangkan identitas dari hakekat kelokalan itu sendiri.
Hal yang hilang dari peran kelokalan dikarenakan psikologi yang panik dari masyarakat setempat (panic group). Situasi seperti ini tentu membuat para politisi kekuasaan memanfaatkan sebagai media kekuatan politiknya. Karenanya menurut Robert Mirsel (2004:34) pula, teori gerakan kemasyarakatan berhubungan erat dengan teori tingkah laku kolektif (collective bohaviour theory). Fenomena-fenomena seperti kelompok yang panik (panic group), kelompok histeris (hysterias), dan kelompok yang bertingkah laku cepat sekali berubah-ubah (fads) dan tingkah laku kerumunan (crowel behaviour). Pada pemahaman hal diatas, kita bisa melihat peran kewargaan lokal, dalam menentukan sikap mendukung proyek pembangunan Punclut. Mereka menyuarakan sebagai masyarakat lokal dengan menunjukkan gestur dan bahasanya, terkait dengan aksi-aksi di jalanan dan di gedung-gedung pemerintahan. Bahkan setiap kali ada pengunjuk rasa yang tidak setuju pada pembangunan di kawasan Punclut, warga lokal dengan lantang menantang perang, kegamangan warga lokal pada peran politik yang provokatif, vandalis dan pragmatis, membuat peran kultur yang sesungguhnya dari masyarakat lokal terekploitasi, kehilangan arah dan menuju kematian bersama di tingkat lokal.
Peran Media Massa Pada Kelokalan Sejati
Media massa bisa mempengaruhi kehidupan politik negeri tersebut hanya dengan menciptakan opini. Namun kekuasaan tradisional tak bisa mengontrol media itu sendiri (Umberto Eco. 2002: 46). Sebab peran media massa sangat begitu penting untuk menyangga keberadaan masyarakat lokal, sebab pembahasan publik terkait dengan persoalan lokal, menjadi terbaca secara terbuka dan menjadi kekuatan politik publik yang lebih luas. Karena itu menjadi sensitif bagi para pengusaha di bidang media massa. Tentu pada gilirannya kemana media massa akan berpihak, yakni pada kepentingan masyarakat lokal atau pada kepentingan para pengusaha dan penguasa atau pada para pengembang, yang mengeksploitasi lingkungan lokal. Sejauh ini peran media massa pada proyek pembangunan yang terancam peran partisipasi warga terlihat naik dan turun, sebab media massa sebagai representasi ruang publik yang menjadi industri tak mampu memberi wadah suara lokal yang sebenarnya, terutama pada media lokal itu sendiri. Industrialisasi dan komersialisasi media juga berpengaruh besar dalam mendorong proses depolitasi publik .
Slogan yang berkembang pada persoalan Punclut, KBU dan Bosscha, media massa cukup memberikan ruang informasi yang menarik dan cukup memberikan penjelasan tentang kekicruhan pada proses pembangunan pada publik, terutama pada media Nasional, seperti Kompas, Seputar Indonesia, dan beberapa media lokal seperti Radar Bandung, dan STV sebuah stasiun Televisi lokal. Namun yang tidak menarik dari persoalan media massa lokal yang bermain politik dengan kekuasaan lokal, adalah kepura-puraan demokratis dengan menyanding berita, tetapi dari pihak penguasa lokal-lah yang sering mendapatkan ruang-ruang besar kolom beritanya. Kata Agus Sudibyo, bertolak dari fakta-fakta di atas, muncullah pesimisme tentang korelasi positif antara kebebasan perss dan proses demokratisasi.
Penutup
Peran partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan, merupakan keharusan, yang sesungguhnya dari cita-cita perjuangan atau semangat reformasi 1998. Namun pada perkembangannya ketika ruang demokrasi, yang sepatutnya menjadi hal yang bermaslahat untuk masyarakat, menjadi terbalik, hanya pada kekuasaan elit politiklah yang mendapat ’kue’ hasil pergerakan masyarakat itu sendiri. Padanyalah kita bisa melihat dan membaca persoalan pe-rekayasa-an atas nama aturan yang menjadi ’alas pijak’ pengrusakan tatanan kehidupan di lingkungan masyarakat.
Pencarian partisipasi tentunya tak semudah ’membalikkan tangan’, sebab anasir-anasir orde baru yang pragmatis, birokratis dan vandalis, masih berperan melalui pintu U.U otonomi daerah no. 22/1999 dan U.U. otonomi daerah 32/2004. Sebagai hasil amandemen U.U Dasar 1945. Partisipasi yang sebetulnya tak terbangun baik di tataran infrastruktur (pemerintahan) maupun di suprastruktur (masyarakat). Maka tidaklah heran jika pada gilirannya, kegamangan dan rasa panik menghadapi perkembangan jaman yang semakin mendesak dan menekan.
Kepanikan dalam menghadapi persoalan ’slogan’ pembangunan, terbukti terjadi. Misalnya di pemerintahan kota Bandung, dan masyarakat sebagai ’obyek penderita’ dari pembangunan itu sendiri. Sementara jaminan kepura-puraan demokrasi atas nama partisipasi semu (masyarakat lokal yang dikondisikan menyetujui pembangunan). Hanyalah penderitaan yang berkelanjutan, dan kesemuan tersebut karena ketidak-adaan proses dialog antara pemerintah, masyarakat lokal dan para ahli yang kompeten di bidangnya. Karenanya proses dialog yang detail terkait pada potensi kelokalan menjadi penting dalam melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan bagi masyarakat itu sendiri.
Catatan (Notes)
Mengutib dari makalah Sobirin dan Mubyar dalam buku ‘Kota Cekungan Kota Impian” KMBB (dalam proses penerbitan).
Data diambil dari pengantar buku, (2007) “Selamatkan Bosscha”, yang ditulis Himpunan Mahasiswa Astronomi (Himastron) ITB. Resist Book: Yogyakarta.
Lihat pada buku (2005) “ Republik tanpa Ruang Publik” dalam tulisan dari Agus Sudibyo, hal. 117.
Bibliography
1. ECO, Umberto. 2002. “Lima Serpihan Moral”. Terj. Eka Kurniawan dan Elpiwin Adela. Jendela: Yogyakarta.
2. ENGELS, Frederick. 2005. “Anti-Duhring”. Terj. Oey Hay Djoen. Hasta Mitra dan Ultimus: Bandung
3. JABARIL, Rahmat. (ed.) 2007. “Selamatkan Bosscha”. Resist Book: Yogyakarta.
4. JABARIL, Rahmat. (ed.) siap terbit “ Kota Cekungan Kota Impian” (masih dalam proses)
5. MIRSEL, Robert. 2004. “ Teori Pergerakan Sosial”. Yogyakarta: Insist Book
6. RACHMAN, M. Fadjroel. 2007. “ Demokrasi Tanpa Kaum Demokrasi”. Kukusan: Depok.
7. SIM, Stuart. 2002. “Seri Postmodern. Derrida dan Akhir Sejarah”. Terj. Sigit Djatmiko. Jendela: Yogyakarta.
8. SJ. SUMARTO, Hetifah. 2004. “Innovasi, Partisipasi dan Good Govermance”. Yayasan Obor: Jakarta.
9. SUDIBYO, Agus; Bagus Takwin; B. Herry-Priyono; F. Budi Hardiman; M. Kusnaeni; R. Kristiawan; Saldi Isra; Yasraf A. Piliang. (2005). “Republik Tanpa Ruang Republik” Ire Press: Jakarta
Rabu, Juli 23, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Tulisan bagus..thanks
Posting Komentar