Sabtu, Juli 05, 2008

Siapa yang Menentukan Kota Kita?

kota macam apa yang kita bangun
mimpi siapa yang ditanam
di benak rakyat
siapa yang merencanakan

lampu-lampu menyibak
jalan raya dilicinkan
di aspal oleh uang rakyat
motor-motor mulus meluncur
merek-merek iklan
di atap gedung
menyala
berjejer-jejer
toko roti
toko sepatu
berjejer-jejer
salon-salon kecantikan
siapa merencanakan nasib rakyat?


(Sajak Kota, Widji Thukul)
Utche Felagonna

Utche Felagonna

Puisi di atas seakan dapat dengan lengkap mewakili persolan perkotaan yang saat ini dialami oleh warga penghuni kota-kota di Indonesia. Kota adalah ruang-ruang etalase produk-produk dan semakin menjauhkan diri dari penghuninya. Kota tidak lagi mendekatkan diri, karena sebagian kecil penghuni mempunyai pengaruh besar untuk menjauhkannya. Bahkan jika lebih jauh menelisik, sebuah kota menjadi jauh dari warganya, karena kebijakan-kebijakan tata kota dan pengelolaan kota tidak lagi berasal dari warga. Ironisnya, dalam kerangkeng kekuasaan modal, kota menjadi jauh karena kebijakan mengenai sebuah kota adalah pesanan pemilik modal, donor bantuan asing pun sebuah idealisme investasi yang jauh dari akar-akar budaya sebuah kota.

Persoalan perkembangan kota adalah sebuah persoalan kompleks. Melibatkan studi multidisiplin dan membutuhkan pendekatan multidimensi. Kota modern membutuhkan perencanaan dan pengelolaan yang berusaha mendekatkan jarak antara sains dan teknologi dengan prinsip-prinsip budaya dan kearifan manusia. Prinsip-prinsip budaya dan kearifan tersebut bukan lagi semata-mata mengutamakan kepentingan sebagian kecil masyarakat penghuni kota, melainkan sejauh mungkin mengakomodasi kebutuhan dan keinginan semua pihak.

Sebab itu, Forum Kajian Kota mengadakan diskusi dengan tema Membaca Permasalahan Kota Bandung, Jumat, 13 Juni 2008 di Selasar Planologi Institut Teknologi Bandung. Diskusi ini menghadirkan Heififah Sjaifudian, Ketua Alumni Planologi ITB, Taufan Suranto seorang envirozer dan Rahmad Jabaril, koordinator KMBB (Komunitas Masyarakat Bandung Bermartabat).

Heififah menguraikan pendekatan ilmiah mengenai kota secara planologi. Kota dapat kita gali maknanya melalui penggunaan metafora-metafora. Bisa dilihat sebagai sebuah mesin yang terus berputar dan bergerak dalam aksi dan reaksinya. Pun juga bisa dilihat selayaknya organisme hidup yang dalam kehidupannya membutuhkan keseimbangan dan kelayakan untuk tetap ‘hidup’ dan menghidupi. Warga yang hidup dalam sebuah kota, dapat dilihat selayaknya darah yang mengaliri pembuluh-pembuluh yang semakin sempit dalam sebuah kota yang terus berkembang. Darah selalu bersifat menekan selama jantung kehidupan terus berdetak, pembuluh yang semakin sempit tidak dapat selamanya menahan tekanan dari aktivitas darah yang dinamis. Kota yang sakit, bukan berasal dari tekanan ‘warga penghuni kota’ melainkan karena tidak adanya sinergisitas antara tekanan dan ketersediaan kota dalam menampung warga. Karenanya sebuah perencanaan dan pengelolaan kota menuju sebuah kota yang sehat sangat dibutuhkan.

Kota dapat dikaji dengan menggunakan data. Data-data numerikal berupa catatan statistik, data-data visual berupa foto dan peta, data-data aural berupa apa yang kita dengar mengenai sebuah kota dan data-data tertulis berupa laporan-laporan mengenai perkembangan dan pertumbuhan sebuah kota.

Pengkajian mengenai sebuah kota melalui penggunaan data-data ini merupakan salah satu bentuk pendekatan sains dan teknologi dalam upaya memahami sebuah kota. Sebuah kota yang dapat menyediakan basis data yang lengkap mengenai perkembangan kota, akan memudahkan perencanaan dan pengelolaan kota selanjutnya. Jika data-data tersebut dapat secara mudah diakses oleh warga kota, maka fungsi-fungsi kontrol dan mekanisme perencanaan tidak lagi menjadi hak istimewa birokrasi. Apalagi jika ditambah dengan betapa tidak maksimalnya informasi yang dapat diberikan oleh media, sehubungan dengan relasi kekuasaan dalam media massa.

Bandung, adalah sebuah kota yang terus berkembang pesat dan bertambah padat. Meningkatnya laju kedatangan seiring dengan mudahnya akses transportasi, menyebabkan Bandung menjadi kota pelesir dari warga kota lain. Sementara itu, kompleksitas persoalan tata ruang kota di Bandung sendiri masih belum banyak terselesaikan oleh birokrasi yang ada. Dapat dikatakan Bandung adalah sebuah kota yang sakit. Sakit yang menuju kronis dan akut, sehingga membutuhkan perencanaan dan pengelolaan yang berbasis komunitas atau berasal dari kebutuhan dan keinginan warga kota itu sendiri.

Menurut Heififah Syaefudin, prinsip perencanaan Bandung Genah bertujuan untuk menjadikan Bandung sebagai kota yang lebih sehat. Hal tersebut dapat dicapai dengan mengurangi ketergantungan warga kota akan kendaraan bermotor. Ruang bagi transportasi alternatif harus dibuka seiring juga dengan adanya fasilitas pedestrian yang memadai dan nyaman. Jika selama ini, perkembangan perumahan lebih banyak berorientasi pada kelas menengah ke atas, maka perlu dikembangkan perumahan berbasis komunitas yang dapat menampung warga-warga marjinal. Perumahan berbasis komunitas ini bersifat non-profit dan disubsidi oleh pemerintah kota, dengan tujuan untuk mempermudah persinggahan kaum urban yang mencari penghidupan di kota bandung dari kota-kota lain.

Bagi Heififah, perencanaan dan pengelolaan kota dengan berbasis komunitas ini dapat dimulai dengan memberi kesempatan kepada komunitas-komunitas lokal di tingkat rukun tetangga dan rukun warga untuk memutuskan pengelolaan lingkungannya secara demokratis.

Taufan Suranto, lebih mengedepankan sebuah kasus yang belum terselesaikan di kota Bandung. Kasus pengelolaan dan perencanaan daerah Punclut yang berada di kawasan Bandung Utara. Pendekatan berprespektif lingkungan ini melihat kasus Punclut sebagai sebuah bentuk perampasan hak-hak lingkungan hidup bagi warga kota Bandung. Keterlibatan beberapa pihak dalam kasus punclut ini, sangat berkaitan dengan kepentingan ekonomi, bisnis dan politis. Tragisnya, jika pendekatan sains dan teknologi pada satu sisi dapat mempermudah dan memberikan solusi penataan kota yang lebih menuju sehat, pada sisi lain dapat juga berkhianat, dengan memberikan legitimasi-legitimasi ilmiah untuk menutupi sisi gelap pembangunan itu sendiri.

Kawasan Punclut terletak di ketinggian 700 meter dpl, yang menurut SK No 181/1982 termasuk daerah Kawasan Bandung Utara, dengan prinsip tidak memberikan ijin lokasi bagi pembangunan di daerah tersebut, sebagai kawasan konservasi. Pada 1994, terbit surat keputusan walikota yang memberikan ijin prinsip dan lokasi pengembangan bagi PT DUSP. Hingga kini hal tersebut menjadi persoalan. Lebih ruwet, saat terbit surat keputusan pembatalan penyerahan sertifikasi tanah bagi 943 warga sesuai dengan surat keputusan menteri agraria 1980. Advokasi terhadap kasus pengembangan di kawasan Punclut ini telah dimulai sejak tahun 2004. Indikasinya,ada manipulasi peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung. Peta yang seharusnya menetapkan kawasan punclut sebagai kawasan konservasi, dalam lampirannya ternyata memuat bagian-bagian wilayah yang diperuntukan bagi pengembangan perumahan.

Kasus Punclut, dapat dijadikan contoh bagaimana kekuasaan secara sepihak menetapkan peraturan-peraturan lalu mengubah peraturan yang ada sesuai dengan kepentingan kekuasaan. Hal ini terlihat pada perubahan pasal 100 Peraturan daerah No. 2 Kota Bandung.

Menurut Taufan, jika kekuasaan selama ini mendekati rakyat dengan; intervensi, iming-iming dan intimidasi maka perjuangan untuk menyelamatkan lingkungan dapat menggunakan; otak, omong dan otot.

Rahmad Jabaril mengemukakan, dalam berberapa kasus, perencanaan dan pengelolaan kota tidak lagi memperhitungkan aturan-aturan yang telah disepakati, seperti peraturan daerah dan undang-undang yang sudah ada. Sebuah peraturan kadangkala bertumpang tindih dengan peraturan lain yang dibuat kemudian.

Kecenderungan warga kota yang terpelajar seperti mahasiswa, yang kurang kritis dengan realitas sosial kota, dilihat oleh Jabaril sebagai akumulasi dari berbagai faktor. Kuliah yang padat, dan intervensi media yang tidak membuka ruang jeda bagi perenungan. Ditambah dengan intervensi dari kekuasaan kampus yang tidak banyak membuka ruang yang dapat mengakomodasi gejolak kekritisan mahasiswa. Di sisi lain, pihak-pihak kampus seringkali membuat kesepakatan-kesepakatan dengan aparatus atau institusi kekuasaan berkaitan dengan aplikasi-aplikasi saintifik bagi kebijakan yang tidak bersahabat dengan kota dan lingkungan. Sehingga resam yang nyata tampak adalah, bagaimana selama ini kekuasaan melegitimasi pembangunan tanpa melibatkan warga.

Aksi langsung warga dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif pemecahan masalah. Bukan dalam pengertian yang negatif, karena dalam banyak contoh saat kekuasaan tidak dapat memberikan solusi pengaturan yang komprehensif, warga secara mandiri mengatur dirinya sendiri. Dengan sendirinya, secara de facto warga telah mengambil sedikit bagian dari kekuasaan tanpa kekerasan. Sebuah contoh yang menarik adalah bagaimana warga dan para pedagang pasar kaget di Lapangan Gasibu membuat kesepakatan-kesepakatan mandiri mengenai pengelolaan lingkungan dan lokasi, saat pengaturan-pengaturan dari birokrasi dirasakan tidak memberikan solusi yang adil. Hukum setidaknya dapat dimulai dari sebuah kontrak sosial yang berangkat inisiasi-inisiasi kecil dari komunitas-komunitas warga. Inisiasi yang berangkat dari kesadaran warga akan pentingnya penataan, perencanaan dan pengelolaan kota yang memuat aspek-aspek keberlanjutan berbasis lingkungan.[end]

Utche Felagonna, tim kerja Mediabersama.com

Sumber: http://mediabersama.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1923:siapa-yang-menentukan-kota-kita-&catid=932&Itemid=266

Tidak ada komentar: